Yusril Ajukan JR Minta MA Batalkan Larangan Ekspor Benih Lobster

MUS • Monday, 18 Oct 2021 - 16:03 WIB

Jakarta - Pengacara Senior, mantan Menkumham dan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan Judicial Review (JR) atau hak menguji gormil dan materil serta meminta Mahkamah Agung membatalkan larangan ekspor benih lobster. 

Larangan itu tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 2 ayat (1)  Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 yang ditandatangani oleh Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono tanggal 24 Mei 2021.

Yusril dan para advokat Ihza & Ihza Law Firm mengajukan JR sebagai kuasa hukum PT Kreasi Bahari Mandiri dan beberapa petani kecil di Nusa Tenggara Barat (NTB). 

Alasan mereka, pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan tidak berwenang melarang ekspor barang dan jasa, meskipun itu benih lobster. Melarang ekspor ikan, termasuk benih lobster, sebelumnya memang menjadi kewenangan Menteri KP berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 45 Tahun 2009 juncto UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan perubahannya.
Tetapi dengan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dikenal dengan sebutan Omnibus Law,  kewenangan itu telah dicabut dan diambil alih langsung oleh Presiden. 

Hal yang sama sebelumnya juga telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Presiden, telah mengatur sendiri barang dan jasa apa saja yang boleh diekspor dan diimpor melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2021 untuk melaksanakan Omnibus Law. 

Melalui PP Nomor 29 Tahun 2021 itu, Presiden Joko Widodo mendelegasikan kewenangannya kepada Menteri Perdagangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai jenis-jenis barang dan jasa yang boleh diekspor dan diimpor. 

"Dengan aturan ini, jelaslah Menteri KP telah bertindak di luar kewenangannya membuat peraturan yang melarang ekspor benih lobster. Tindakan di luar kewenangan itu bisa juga disebut sebagai tindakan sewenang-wenang dan mengada-ada," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (18/10/2021).

Selain masalah kewenangan, Yusril juga mendalilkan bahwa larangan ekspor benih lobster itu juga bertentangan dengan dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam  dan Ekosistemnya dan UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. 

Menteri KP berdasarkan kewenangannya seharusnya lebih dulu menyatakan bahwa lobster adalah binatang langka atau jenis binatang yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990. Atas dasar itu, baru dapat dilakukan pelarangan ekspor. 

Namun kenyataannya dalam Peraturan Menteri KP sampai yang terakhir diterbitkan, yakni Permen KP Nomor 1 Tahun 2021 yang menyebutkan adanya 19 jenis ikan yang dilindungi, ternyata tidak memasukkan lobster sebagai binatang langka atau terancam punah yang dilindungi oleh negara. Jadi, jelas kiranya bahwa larangan ekspor benih lobster ini adalah aturan pencitraan yang mengada-ada.

Kebijakan Menteri KP itu juga telah membuat pengusaha perikanan dan nelayan kecil terombang-ambing. 

"Mereka telah melakukan investasi dan mengurus izin penangkapan, penangkaran dan ekspor benih lobster dengan biaya tidak sedikit. Segala jerih payah itu tiba-tiba dilarang tanpa adanya aturan peralihan untuk mengatasi kerugian pengusaha dan nelayan kecil," sambungnya. 

Yusril mengatakan larangan ekspor benih lobster lebih banyak masalah pencitraan dan tindakan jor-joran Menteri KP sejak Susi Pudjiastuti sampai Sakti Wahyu Trenggono. Menteri Susi berdalih, benih lobster jangan diekspor tetapi lebih baik dibudidayakan di dalam negeri agar mempunyai nilai tambah. Namun kebijakan Pemerintah tentang budidaya lobster sampai sekarang tidak pernah jelas.

Berdasarkan data Komisi Pengajian Stock Ikan (Kajiskan) Kementerian KP sendiri untuk tahun 2021, jumlah benih lobster yang ada di alam bebas adalah 278, 3 milyar ekor. Menurut perhitungan ahli, jika bibit sebanyak itu digunakan untuk budidaya, maka hasil lobster siap konsumsi tiap tahunnya adalah 92,76  ekor atau setara dengan 19.479 ton lobster. 

Namun kenyataannya, Kementerian KP hanya menargetkan hasil budidaya dalam negeri sebanyak 2.396 ton untuk tahun 2021 ini. Padahal untuk menghasilkan jumlah 2.396 ton  lobster konsumsi itu hanya diperlukan bibit benih lobster sebanyak 34,3 juta ekor saja atau hanya sekitar 15%  dari bibit yang tersedia. Sisanya sebanyak 244,38 milyar ekor atau sekitar 85% dibiarkan hidup di alam bebas dan sudah dapat dipastikan sebagian besar  menjadi mangsa predator.

Sebab itu, menurut Yusril, dia dan para ahli perikanan heran dengan kebijakan mubazir Menteri KKP. Menteri melarang ekspor benih lobster dan membiarkannya musnah dimakan predator. Sementara ekspor benih lobster punya nilai jual yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan devisa negara. 

"Kalau mimpinya negara kita menjadi eksportir lobster terbesar di dunia, harusnya Pemerintah melarang ekspor secara bertahap sesuai kemampuan daya tampung budidaya dalam negeri," ungkap Yusril. 

Mestinya menurut Yusril, Menteri KP mencontoh larangan ekspor bijih nikel yang dulu disarankannya kepada Pemerintah SBY. Larangan ekspor bijih nikel dilakukan bertahap. Kuota ekspor ditetapkan. Pengusaha yang diizinkan mengekspor adalah pengusaha yang sedang membuat pabrik pengolahan dalam negeri. Hasil ekspor digunakan untuk membiayai pembangunan industri pengolahan. Ketika industri pengolahan nikel dalam negeri sudah siap, maka larangan ekspor bijih nikel mulai diberlakukan.

Larangan ekspor benih lobster mestinya juga demikian. Tetapkan kuota, awasi ekspor. Hasil ekspor digunakan oleh pengusaha untuk membangun fasilitas budidaya lobster dalam negeri. Kalau budidaya dalam negeri sudah optimal, maka larang ekspor benih.

Akibat kebijakan larangan ekspor benih lobster asal-asalan tanpa pikir panjang ini, maka di zaman Susi Pudjiastusi bisnis ekspor benih lobster mengalami stagnasi. Budidaya dalam negeri juga tidak berkembang. 

Di zaman Edhy Prabowo yang membolehkan ekspor dengan izin dan prosedur berbelit-belit, terjadilah tindak pidana korupsi. Menteri Edhy dan beberapa pejabat KKP ditangkapi oleh KPK. Kini, dibawah Menteri KP Sakti Trenggoni, penyelundupan benih marak lagi. Budidaya dalam negeri tetap tidak jelas.

Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono nampaknya hanya berkeinginan memulihkan citra Kementerian KKP yang hancur akibat Menteri KP sebelumnya ditangkap KPK. Tiba-tiba dia mencabut izin ekspor benih lobster, sementara kewenangan melarang tidak  ada lagi  padanya karena sudah dicabut oleh ‘Omnibus Law’ dan peraturan pelaksananya. Pelarangan itu, bukan hanya tiba-tiba, tetapi juga tanpa aturan peralihan.

Akhirnya yang menderita kerugian di tengah pendemi adalah para eksportir benih dan nelayan kecil di desa-desa. Pencitraan ternyata sangat mahal dan tega-teganya mengorbankan rakyat sendiri.  (Jak)