Fenomena Media Sosial:  Ketika Korban "Penipuan" Akhirnya Menjadi "Penipu"

MUS • Thursday, 7 Oct 2021 - 10:57 WIB

Oleh: Muhammad Iqbal

Era digital membuat perilaku manusia berubah. Terutama semenjak berkembangnya media sosial, dunia terasa semakin luas tak terpisah oleh ruang dan waktu

Namun tanpa disadari, media sosial telah mengubah perilaku kehidupan manusia. Eksistensi di media sosial mengakibatkan sebagian orang menghalalkan segala cara untuk terlihat "kaya" dan sukses, padahal berbeda jauh dengan kenyataan hidupnya

Beberapa klien yang datang, kalau kita lihat profil mereka di media sosial sungguhlah indah. Banyak orang iri padanya, karena menampilkan kehidupan yang "sempurna". Ibarat selebriti mereka selalu memposting sesuatu yang terlihat mewah, makan, jalan-jalan, mall, bandara, wisata, dan foto keluarga. Namun ketika mendengar kisah-kisahnya sungguh jauh dari kenyataan. Ada yang hampir bercerai, ada yang korban KDRT, ada yang dikejar hutang, ada yang tidak punya biaya buat berobat.

Seorang teman saya suatu hari mengirim pesan, menanyakan kabar, lalu saya menanyakan kabarnya balik. Ia bercerita kalau dia bekerja di perusahaan asing. Saya pun percaya, karena melihat foto-foto di medsosnya sungguh menampilkan keluarga Bahagia.

Tidak berapa lama seorang teman mengirimkan pesan kabar duka bahwa teman tersebut telah meninggal dunia, dan ternyata dia sudah menderita sakit yang lama. Dia korban PHK, ditinggal istri dan anaknya, hingga kemudian meninggal di sebuah kontrakan kecil dan tidak memiliki biaya untuk berobat.

Lalu saya tanya, bukankah dia hidup bahagia dengan foto-foto di medsosnya? Teman saya yang kebetulan dekatnya dengannya mengatakan bahwa foto yang ia posting di medsos itu adalah foto lama yang diulang-ulang karena kerinduan dengan anak istri yang sudah 2 tahun meninggalkannya.

Saya pun berderai air mata, seandainya ketika itu ia mau bercerita mungkin saya bisa membantunya. Namun semua sudah terjadi, tak ada yang bisa ditangisi

Demikian juga dengan kisah seorang istri yang selalu "insecure" dengan postingan teman-temanya di medsos. Ia merasa dirinya tertinggal dari teman-temannya yang telah memiliki segalanya: harta, jabatan dan status sosial. Padahal apa yang mereka posting belum tentu benar, karena setiap orang/keluarga juga memiliki masalah. 

Akhirnya sang istripun berusaha terlihat mapan dan kaya, dengan menampilkan foto-foto yang menunjukkan bahwa dia adalah keluarga sukses, kaya dan mapan. Namun untuk terlihat hebat dia berbohong, meminjam sana-sini bahkan berhutang dengan pinjaman online untuk membeli barang keinginannya. Karena ingin punya rumah di tempat yang elit agar tidak malu bila ditanya tinggal dimana, ia akhirnya berhutang ke bank. 

Untuk mengisi rumahnya ia belanja dengan kartu kredit, hingga akhirnya berurusan dengan "debt collector" dan hidupnya secara batin tersiksa. Karena setiap akhir bulan harus membayar hutang dan "diteror" penagih hutang, rumah tangganya bermasalah, sering berantem, tertekan, cemas dan hidupnya tidak bahagia

Inilah yang disebut dengan "korban penipuan di medsos, akhirnya menjadi penipu di medsos". Awalnya dia hanyalah korban, namun akhirnya menjadi pelaku.

Permasalahan "menipu" di media sosial saat ini sering terjadi. Seandainya mereka tidak terpengaruh, tidak terprovokasi oleh para "penipu" mungkin mereka tidak pula menjadi "penipu".

Di saat pandemi ini cobalah buat hidup itu sederhana saja, sesuaikan keinginan dengan pendapatan. Bila tidak punya, jangan gengsi dan terpengaruh oleh orang lain. Banyak bersyukur atas apa yang kita peroleh, kurangi gaya, agar tidak banyak terjadi tekanan, khususnya gaya hidup yang membuat kita tersiksa.

Selamat bahagia!

 

Penulis adalah Psikolog, CEO Rumah Konseling
IG@muhammadiqbalpsy
www.rumahkonseling.online