Revisi Regulasi PLTS Atap, IRRES: Ada Motif Bisnis di Balik Isu Lingkungan

FAZ • Saturday, 4 Sep 2021 - 18:36 WIB

Jakarta - Revisi Permen ESDM No.49/2018 tentang Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) telah menjadi polemik akhir-akhir ini. Setelah dipelajari lebih lanjut mengenai setiap kebijakan yang ada, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRRES) Marwan Batubara, menduga ada motif bisnis dibalik perubahan yang terjadi.

“Ini merupakan motif bisnis yang berlindung dibalik target bauran 23%, mitigasi perubahan iklim, dan sebagainya,” ungkap Marwan kepada Radio MNC Trijaya dalam program Polemik Trijaya "Regulasi EBT, Untuk Siapa?", Sabtu (04/09/2021).

Marwan mengkonfirmasi memang benar adanya IRRES mengirimkan pesan kepada Presiden. Hal ini dilakukan karena berdasarkan Peraturan Presiden (Pepres) no 68 tahun 2001, mewajibkan semua pimpinan lembaga atau Kementerian untuk mengirimkan pesan kepada Presiden mengenai draft peraturan yang akan diubah dan diperbaharui.

“Kita menganggap presiden perlu tahu lebih banyak tidak hanya dari satu pihak yang akan menerbitkan peraturan, itu yang pertama ya, jadi kita punya hak nih, publik punya hak untuk menyampaikan kepada presiden seusai dengan peraturan yang diterbitkan oleh presiden sendiri,” katanya. 

Marwan juga menjelaskan,  yang paling penting adalah pesan tersebut juga diketahui oleh publik, ia menganggap Kementerian ESDM bertindak secara sepihak dan terkesan tidak menganggap penting untuk mendengar aspirasi dari publik, terutama dari pakar-pakar yang ada di kampus. 

"Kami membaca apa yang disampaikan pakar itu relevan dan berkeadilan. Sementara yang direncanakan oleh Sumber Daya Manusia Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mereka tidak mau mendengar masukkan dari pakar, ini sesuatu yang kami anggap lebih banyak untuk kepentingan bisnis, “ ucap Marwan.

Dalam Peraturan Presiden No. 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dicantumkan bauran Evidence Based Practice (EBP)  pada 2025 ditargetkan 23%, sedangkan sekarang masih berada pada 11%. Hal ini dapat dipahami tetapi dalam proyek 35.000 Megawatt yang ditetapkan di tahun 2015-2016. 

Marwan menjelaskan saat kebijakan energi diterbitkan, mayoritas masyarakat masih menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sehingga membuat pasokan listrik PLN menjadi sangat berlebihan, ditambah kondisi sedang Pandemi Covid-19.

Menanggapi hal ini, Marwan mengatakan bahwa sudah ada peraturan menggunakan PLTU bukan EBT, padahal bauran energi sudah tercatat di Perpres No.79 tahun 2014, dan sekarang Pemerintah terkesan menggiring publik untuk menerima apa yang mereka usulkan.

Kita tidak masalah untuk menerima, yang menjadi masalah mereka merubah tarif, tadinya 0,65:1. Yang terjadi kalau ini 1:1 seolah-olah tidak dianggap oleh pelanggan,"  tutup Marwan.