Peneliti LIPI Paparkan Kajian ‘Krakatau dalam Pandangan Masyarakat Sebesi’

FAZ • Friday, 27 Aug 2021 - 09:03 WIB

Jakarta -  Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Jogaswara mengatakan, edukasi masyarakat pada pengayaan pengetahuan lokal, dalam hal ini khususnya terkait Gunung Krakatau menjadi perhatian penting untuk memperkaya khasanah pengetahuan bagi masyarakat lokal, sebagai upaya pengurangan risiko bencana.

“Kondisi geografis menjadikan Indonesia berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor,” ungkap Herry dalam siaran pers (27/8/2021).

Herry menyatakan, kalau pengelolaan bencana harus berbasis struktural dan non struktural.

“Struktural antara lain teknologi peringatan dini, alat pendeteksi bencana. Sedangkan, non struktural merupakan suatu pendidikan kebencanaan yang memberikan pertolongan pertama kali saat bencana itu terjadi,” jelasnya.

Menurut Herry, masyarakat Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana harus diedukasi dan diberikan materi yang berkaitan dengan kebencanaan.

“Pendidikan bencana ini juga sifatnya kontekstual dan harus selalu diperbarui,” tegasnya. 

Berdasarkan studi LIPI di masyarakat pulau Sebesi, peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, Devi Riskianingrum telah menyelesaikan penelitian dengan topik ‘Krakatau dalam Pandangan Masyarakat Sebesi: Antara Berkah dan Bencana’.

Dari survei wawancara pada 13-16 Oktober 2020, Devi mengatakan Pulau Sebesi, sebagai pulau yang posisinya hanya 20 KM (sekitar 10,7 mil laut) dari gunung Krakatau dan tak luput dari sapuan tsunami.

“Hal ini menyebabkan pulau Sebesi lumpuh komunikasi dan terisolasi,” ungkapnya.

Menurut Devi, aktivitas Anak Krakatau dari gemuruh, letusan kecil yang mengeluarkan asap, bau belerang, hujan debu vulkanik hingga tsunami di 2018 sudah biasa dirasakan oleh masyarakat di Pulau Sebesi. Menariknya, risiko tinggi yang dihadapi tidak serta merta membuat masyarakat meninggalkan Pulau Sebesi. 

“Bagi sebagian besar warga Sebesi, ketika ada aktivitasnya, maka mereka yakin Anak Krakatau tidak akan membahayakan mereka,” lanjutnya.

Di sisi lain, ketika Anak Krakatau cenderung sepi aktivitas dan diam dalam periode waktu yang cukup lama, maka masyarakat justru mempertanyakan dan mengkhawatirkan kondisi ini.

“Untuk masyarakat Sebesi, geliat Anak Krakatau adalah pertanda bahwa gunung itu hidup dan tidak membahayakan, selayaknya ‘batuk’ pada anak manusia,” jelas Devi. 

“Saat ini, pandangan masyarakat perlahan tetapi pasti mulai berubah, dari memandang alam sekeliling mereka termasuk Anak Krakatau sebagai berkah, kini menjadi sumber ancaman bencana. Terlepas dari ketakutan yang mulai tumbuh, masyarakat Pulau Sebesi tetap enggan untuk untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka. Tidak ada trauma yang terlalu berat pada masyarakat Sebesi dalam merespons bencana tsunami 2018,”.

Mengingat kondisi alamnya membuat Pulau Sebesi menjadi salah satu unggulan destinasi wisata bahari oleh pemerintah Lampung. Pantai yang memiliki pemandangan yang indah dan berhadapan langsung dengan Gunung Anak Krakatau yang terkenal aktif menjadi salah satu unggulan pulau Sebesi.

Sebagai informasi, webinar ini turut menghadirkan Basith Djoma Kisunda Labuan, (Ketua Kampung Siaga Bencana):  Meminimalisir Resiko Pengurangan Bencana,  dan Widi Widiasmanto,  (Ketua PHRI Pandeglang): Krakatau sebagai Destinasi Wisata Alam Berkelas Dunia.