Pajak Pendidikan, Tidak Etis dan Bertentangan dengan Konstitusi

AKM • Friday, 11 Jun 2021 - 10:54 WIB

Jakarta - Pemerintah berencana memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa pendidikan sebagaimana tertuang dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pada UU aslinya, jasa pendidikan masuk kategori jasa bebas PPN.

Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah menyatakan menolak rencana tersebut dengan sejumlah pertimbangan.  Menurut Aliyah, pendidikaN merupakan sektor yang setiap warga negara dijamin haknya untuk mendapatkannya. 

“Pemerintah juga diamanatkan kewajiban untuk membiayai pendidikan warganya. Ini jelas tertuang dalam pasal 31 UUD 1945,” ujarnya, Jakarta, Jum'at (11/6).

Menurut Aliyah, rencana pemerintah mengenakan pajak di sektor pendidikan membuat masyarakat yang dijamin haknya justru dibebankan kewajiban, dan pemerintah yang berkewajiban membiayai tapi justru memungut biaya pendidikan dari rakyat. 

“Ini tentu tidak etis sekaligus bertentangan dengan konstitusi. Jadi jika rencana tersebut diberlakukan dan UU disahkan akan rawan digugat di Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.     

Aliyah menjeaskan, pengenaan pajak pada sektor pendidikan akan membuat biaya pendidikan meningkat sehingga akan membebani masyarakat. 

“Ini tentu akan menciptakan ketidakadilan karena pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat,” tutur Aliyah.

Aliyah memgatakan hal ini jelas bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 “Disebutkan dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif.,” ungkapnya.

Aliyah menambahkan, pengenaan pajak pada sektor pendidikan di tengah pandemi akan menambah tinggi angka putus sekolah. Pandemi yang masih berlangsung telah menurunkan ketahanan ekonomi masyarakat sehingga banyak siswa dari berbagai daerah di Indonesia mengalami putus sekolah. 

“Pengenaan pajak pendidikan bisa menambah tinggi angka putus sekolah sehingga menurunkan angka partisipasi sekolah di Indonesia. Kondisi demikian tentu paradoks dengan visi pemerintah sendiri, yakni mewujudkan SDM unggul untuk Indonesia maju,” pungkasnya.