Petani Sawit Desak Pemerintah Libatkan KPK dan BPK untuk Audit BPDPKS

MUS • Thursday, 25 Mar 2021 - 18:03 WIB

Jakarta - Petani sawit rakyat menilai dana pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak digunakan secara transparan untuk kepentingan mereka. Seharusnya dana yang jumlahnya kini mencapai Rp 50 triliun itu dipakai untuk pendampingan program sawit rakyat, termasuk program peremajaan sawit dan pembentukan kelembagaan petani. Untuk itu, para petani sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendesak pemerintah melibatkan KPK dan BPK untuk mengaudit lembaga tersebut.

Sekretaris Jenderal SPKS, Mansuetus Darto mengatakan, BPDPKS tidak memiliki roadmap yang jelas terkait penggunaan dana tersebut. Bahkan sejak lembaga itu dibentuk pemerintah untuk melaksanakan tugasnya, BPDPKS tidak pernah berpihak kepada petani sawit rakyat.

“Alokasi dana (untuk petani sawit rakyat) sangat minim. Justru selama ini pengusaha sawit dan biodiesel yang menjadi prioritas penganggaran dari BPDPKS. Padahal sebenarnya BLU ini kan milik pemerintah, bukan milik industri,” jelas Darto di Jakarta, Kamis (25/3/2021).

Sebagai informasi, sepanjang tahun 2020 pemerintah melalui BPDPKS telah menghimpun dana dari pungutan ekspor sawit lebih dari Rp50 triliun. Tahun ini, jumlah pungutan tersebut ditargetkan mencapai Rp45 triliun. BPDPKS seharusnya menyalurkan dana tersebut untuk program peremajaan sawit rakyat pada 2021 sebesar Rp5,56 triliun dengan total luas lahan sebanyak 180 ribu hektare (ha).

Darto juga menjelaskan jika program pendanaan yang disusun BPDPKS untuk mendorong pembangunan sawit berkelanjutan (sustainabile palm oil), tidak sesuai dengan harapan petani rakyat. Selain program peremajaan sawit, dana tersebut juga bisa digunakan untuk penguatan SDM petani sawit seperti melalui pembentukan kelembagaan petani lokal.

“Misalnya dana itu juga dialokasikan sebagai dana pra-kondisi bagi petani untuk membentuk kelembagaan tani di tingkat lokal. Ini penting (kelembagaan tani) karena menjadi syarat yang harus dipenuhi petani jika ingin mendapatkan dana dukungan program peremajaan sawit itu,” lanjut Darto.

Selain itu,SPKS juga melihat bahwa pelaksanaan dan pendampingan program yang dilakukan BPDPKS tidak dilakukan oleh Dinas Perkebunan, tapi lembaga-lembaga yang hanya memburu proyek saja.

Terkait hal tersebut, SPKS mendesak pemerintah untuk mengevaluasi BPDPKS agar tidak terjadi penyimpangan yang terlalu jauh. SPKS juga meminta KPK dan BPK melakukan audit terhadap tata kelola dana sawit tersebut.

Anggota Komisi IV DPR-RI Luluk Nur Hamidah melihat pentingnya untuk melakukan audit investigasi dalam bentuk panja atau pansus terhadap pengelolaan dana pungutan ekspor sawit tersebut.

“Saya kira perlu dibentuk panja atau pansus di DPR untuk melakukan audit investigasi dalam waktu dekat. DPR mungkin juga mungkin melibatkan BPK dan KPK dalam kebijakan anggaran yang dilakukan BPDPKS,” kata Luluk.

Menurut Luluk, pemerintah setiap tahunnya tidak memiliki rencana terukur dalam penyaluran dana sawit. Dari total belanja program sebesar Rp30,28 triliun atau sekitar 90% dialokasikan untuk subsidi biodiesel. Sedangkan alokasi untuk peremajaan sawit hanya mencapai 8,1% saja dan sisanya untuk kegiatan lainnya. Bahkan, seharusnya ada sekitar 2,2 juta ha lahan sawit rakyat yang masuk dalam program peremajaan pada 2021. Namun BPDPKS hanya mengalokasikan lahan seluas 180 ribu ha.

Sebelumnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) di DPR Januari lalu, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan, lembaganya telah menyalurkan dana untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebesar Rp2,67 triliun dengan total luas lahan 94.033 ha pada 2020.

BPDPKS secara total telah menyalurkan dana Rp5,32 untuk program tersebut sejak 2016 hingga 2020. Sedangkan total luasan lahan yang sudah didanai pada periode tersebut sebanyak 200.205 ha. (MUS)