Demokrasi Adalah Jantungnya Berpolitik

MUS • Wednesday, 24 Mar 2021 - 19:05 WIB

Jakarta – Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2011 tentang perubahan UU Nomor 2 tahun 2008, peran dan fungsi partai politik perlu peningkatan melalui penguatan kelembagaan melalui pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif. Namun saat ini, eksistensi partai politik mendapat sorotan publik karena sudah keluar dari khitahnya. Seperti yang terjadi dalam konflik partai Demokrat belakangan ini.

Menurut peneliti senior CSIS Josef Kristiadi, partai politik berdiri sebagai pabrik penguasa dan lembaga yang sah untuk bertarung dalam pemilihan pemerintahan. Dengan begitu, Josef menilai, partai politik jangan didirikan hanya untuk yang mendirikan, untuk kepentingan elit, anak cucu atau orang terdekatnya saja.

“Sehingga, partai politik tidak menjadi kerumunan manusia pemburu kekuasaan. Partai politik harus menjadi lembaga yang mempunyai cita-cita ideologis dan menjadi pilar demokrasi,” ungkap Josef saat mengisi webinar ‘Mengembalikan Khitoh Peran Partai Politik Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia’ di Jakarta, Rabu (24/3/2021).

Pernyataan serupa juga disampaikan pengamat hukum dan politik Universitas Borobudur Faisal Santiago. Faisal menyampaikan, partai politik harus menghindari kepentingan kelompok dan keluarga karena punya kekuasaan untuk melahirkan pemimpin. Dalam hal ini, Faisal berpendapat, partai politik harus melihat demokrasi seadil-adilnya.

Dia pun menyinggung persoalan yang terjadi di Partai Demokrat. Faisal bilang, apa yang terjadi di Partai Demokrat harus segera diselesaikan secara hukum dan jangan dibuat berlarut-larut. “Konflik internal seperti ini bukan hal yang baru. Hampir semua partai mengalami. Tapi pada akhirnya, penyelesaian masalah harus melalui jalur hukum (pengadilan),” jelas Faisal.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Agus Surono menjelaskan, permasalahan internal membuat partai politik belum mampu memerankan fungsinya dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah belum banyak partai politik yang kuat secara sistem dan kelembagaannya. Artinya, kata Agus, partai politik jauh dari harapan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat agar dapat mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Senada, pengamat komunikasi politik Aat Surya menegaskan, penunjukkan pengurus partai harus bersifat inklusif, bukan eksklusif dan tidak melibatkan keluarga. “Jangan pula mengandalkan sosok kharismatik. Dengan begitu, akan menjadi partai politik yang modern dan kuat secara sistem dan kelembagaan,” jelas Aat.

Pada kesempatan yang sama, Sekjen Asosiasi Profesi Hukum Indonesia Laksanto Utomo memaparkan, konflik yang terjadi di Demokrat diduga karena adanya cacat prosedur dalam perubahan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (ad/art) tahun 2020. Laksanto mengatakan, penggagas kongres luar biasa (KLB) Demokrat menilai ad/art Demokrat tahun 2020 tidak demokratis karena menghilangkan kesempatan kader untuk menjabat petinggi partai dan terdapat dominasi kekuasaan majelis tinggi yang melampaui ketua umum dan suara anggota.

“Dari beberapa data yang ditemukan, ad/art Demokrat 2020 diduga rigid dan tidak logis. Bahkan, penunjukkan Moeldoko sebagai ketua umum Demokrat versi KLB dinilai sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sesuai dengan ad/art Demokrat tahun 2005,” imbuh Laksanto. (MUS)