Menurut Psikolog, PJJ Dapat Sebabkan Anak Stres dan Emosional

VIR • Tuesday, 9 Mar 2021 - 11:41 WIB

JAKARTA - Kemendikbud mengungkap dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ) adalah adanya tekanan psikologis pada anak. Tekanan itu bisa berupa stres lantaran minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan, juga tekanan akibat sulitnya/tantangan pembelajaran jarak jauh itu sendiri.

Bagi anak yang cepat atau mudah beradaptasi, PJJ mungkin bukan masalah. Sebaliknya, bagi anak yang sulit atau tidak cepat beradaptasi, ketidaksiapan menghadapi ujian ketidaksiapan menghadapi ujian.

Bukan saja membuat anak kurang termotivasi belajar, juga stres karena memiliki target tinggi tetapi bingung mencapainya karena tidak ada guru yang mendampingi secara fisik.

Lantas, bagaimana caranya agar psikologi anak tetap stabil/terjaga selama pembelajaran jarak jauh? Termasuk juga menjaga agar tetap stabil menjelang ujian sekolah?

Setelah pandemi, pembelajaran dilakukan dari rumah, jarak jauh, sehingga rangkaian prosedur belajar yang dilakukan pun ikut berubah. Lebih banyak mandiri. Kalaupun ada belajar berkelompok, dilakukan virtual. Peran guru dalam proses pembelajaran pun demikian, menjadi sangat berkurang. Sebagai gantinya, orang tua mengambil alih.

”Dari sini, berbagai tekanan psikologis mulai berdatangan. Pada level tertentu, bahkan membuat anak menjadi kurang termotivasi dalam aktivitas pembelajaran,” beber Psikolog Intan Erlita, M.Psi, dalam acara Podcast Telset TV.

Menurutnya, ini tak lepas dari kedudukan anak itu sendiri sebagai makhluk sosial. ”Mereka butuh berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Bukan saja orang tua, tetapi juga teman seusianya, gurunya dan lingkungannya,” ujar Intan.

Menurut Intan, anak-anak baik TK, SD, SMP, maupun SMA, butuh kontak atau sosialisasi cukup tinggi. Dimana mereka belajar mengenali lingkungan, belajar ngobrol dengan guru, orang yang lebih tua, serta bagaimana beradaptasi dengan teman-teman seumurannya.

”Pandemi ini membuat mereka kehilangan masa-masa yang dikatakan sebagai hubungan manusianya itu. Hubungan bagaimana dia beradaptasi. Nah ini menimbulkan stres tersendiri,” jelas Intan.

Kondisi ini diperburuk dengan tuntutan belajar tinggi, tugas-tugas banyak namun waktu yang tersedia untuk mengerjakan sedikit, serta tidak adanya waktu mengaktualisasikan diri.

Di level ini, Intan menyebut bahwa banyak anak akhirnya merasa jenuh dan lelah. Ini kemudian tidak hanya berdampak pada nilai yang turun, tetapi juga emosi yang tidak terkontrol. Dimana anak mudah marah.

“Nah itulah yang terjadi dengan anak-anak kita saat ini, kalau kita bicara mengenai efek negatif dari PJJ,” tambahnya.

Saat mengaitkan dengan ujian, tekanannya pun menjadi semakin tinggi. Di satu sisi, mereka masih harus beradaptasi. Di sisi lain, ada target-target yang mungkin tetap harus diwujudkan.

Lalu, apa solusinya? Disinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. ”Bukan saja sebagai supporter yang memberi dukungan pada anak dalam proses belajar. Juga seseorang yang bisa diajak berdiskusi, menjadi pendengar yang baik, dan tentu saja memberi motivasi,” beber Intan. ”Ada kalanya anak tidak butuh solusi dari kita. Mereka cuma butuh didengarkan," ia melanjutkan Intan.

Oemerhati dunia Pendidikan sekaligus Head of Academic Kelas Pintar Maryam Mursadi mengatakan, meski menyebut demotivasi pada anak saat jelang ujian kerap terjadi, namun bukan berarti tak bisa diatasi apalagi dihindari.

“Demotivasi muncul karena siswa belum siap menghadapi ujian, atau dia tahu dia belum paham atau tidak siap ujian, tapi tidak tahu bagaimana menghadapinya atau mencari jalan keluarnya,” ungkap Maryam. “Inilah mengapa mempersiapkan diri sejak awal sangatlah penting,” ia menambahkan.

Untuk mengatasi permasalahan yang muncul karena PJJ, Kelas Pintar mencoba pendekatan berbeda. Ketika mengajarkan materi secara virtual, wajar jika hanya 40% saja yang dipahami siswa. Misalnya koneksi yang terputus atau sebab lainnya. (AZN)