Kompolnas Minta Polri Selektif Terapkan UU ITE

MUS • Tuesday, 23 Feb 2021 - 14:25 WIB

Jakarta - Anggota Kompolnas, Yusuf Warsyim meminta Polri tidak ragu menegakkan ketentuan pidana dalam UU ITE yang berlaku saat ini. Sepanjang belum ada revisi terhadap UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Tranksasi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016, Polri tetap harus menegakkannya.
 
Perhatian Presiden Jokowi terhadap UU ITE saat ini, perihal niatnya untuk revisi UU ITE dan permintaannya kepada Kapolri agar Polri selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE, menjadi pedoman kebijakan Polri dalam menegakan ketentuan pidana UU ITE. "Selektif yang dimaksud Presiden tersebut, menjadi kata kunci penerapan UU ITE saat ini," kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/2/2021).

Diantara ketentuan pidana UU ITE yang dituntut selektif adalah Pasal 27 ayat (3): “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Dalam penjelasan UU ITE tidak dijelaskan lagi apa yang dimaksud pencemaran nama baik secara komprehensif.

Mengutip pendapat Advokat Konstitusi (Instagram), pengertian dasar pencemaran nama baik harus mengacu pada Pasal 310 dan 311 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa pencemaran terjadi jika ada maksud supaya diketahui umum atau pembelaan diri. Apabila tidak mengacu KUHP, seseorang mentransmisikan lewat media privat sekalipun dapat dipidana lewat Pasal 27 ayat (3).

"Begitu juga, penghinaan. UU ITE tidak memberikan penggolongan penghinaan secara sepesifik perihal sanksi pidana yang diberikan," tambah Yusuf.

Sehingga UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE mengacu kembali  kepada KUHP selaku delik genus/norma hukum dasar yang terletak pada KUHP selaku bentuk.

Sifat khusus dari penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) harus memenuhi bentuk penghinaan menurut KUHP yang terdiri dari:

1. Pencemaran (Pasal 310 ayat (1));
2. Pencemaran tertulis (Pasal 310 ayat (2));
3. Fitnah (Pasal 311)
4. Penghinaan ringan (Pasal 315);
5. Pengaduan fitnah (Pasal 317);
6. Persangkaan palsu (Pasal 318);
7. Penghinaan terhadap orang yang sudah mati (Pasal 320-321)

Pasal-pasal tersebut tergolong ke dalam delik aduan.
 
Sambil menunggu realisasi perubahan UU ITE, Polri sangat diharapkan dapat memedomani selektif yang dimaksud Presiden. Ketika menerima dan memroses laporan polisi, seperti terkait pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Polri dapat mengedepankan upaya mediasi penal (pena mediation) dalam rangka menegakan keadilan restoratif (restorative justice).
 
"Saya sebagai Anggota Kompolnas, sangat mendukung upaya responsif Polri terhadap perhatian Presiden dan publik saat ini terhadap UU ITE. Responsifitas tersebut dapat diwujudkan dengan mempercepat pembuatan Perkap, tidak terbatas hanya Surat Edaran, terkait penegakan restorative justice dalam melaksanakan tugas polri sebagaimana yang dimaksud dalam Program Kapolri, Transformasi Polri menuju Presisi," jelasnya.
 
Upaya menegakkan keadilan restoratif memerlukan adanya etika penegakan hukum yang berkeadilan. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya. (Jak)