KPAI Apresiasi SKB 3 Menteri Tentang Penggunaan Seragam dan Atribut di Sekolah Negeri

MUS • Wednesday, 3 Feb 2021 - 21:21 WIB

Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri antara Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. SKB 3 Menteri tersebut mengatur ketentuan tentang penggunaan seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. SKB 3 Menteri itu salah satunya mengatur tentang murid dan guru di sekolah negeri yang berhak memilih seragam yang dikenakan.

“SKB tersebut menjawab sekaligus menghentikan berbagai polemik yang selama ini ada di sejumlah daerah, karena munculnya berbagai aturan terkait seragam di lingkungan sekolah bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang dinilai cenderung  diskriminatif dan intoleran di sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan.

Dalam ketentuan pada SKB 3 Menteri tersebut, peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam sekolah dan atribut tanpa kekhususan agama, atau dengan kekhususan agama. Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh lagi “mewajibkan” ataupun “melarang” seragam dan stribut dengan kekhususan agama. Namun, khusus peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di Provinsi Nanggroë Aceh Darussalam (NAD) dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan NAD.

“Ketentuan bahwa peserta didik dan pendidik berhak memilih seragam sekolah dan atribut tanpa kehususan agama, atau dengan kehususan agama merupakan perwujudan dari Hak Asasi individu sesuai keyakinan pribadinya. Hal ini penting ditekankan, karena melarang menggunakan maupun mewajibkan menggunakan, semuanya melanggar hak asasi manusia (HAM), padahal pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, nondiskriminatif dan menjunjung tinggi HAM,” tegas Retno.

Retno menambahkan bahwa,”menggunakan aurat bagi muslimah memang kewajiban, namun caranya dalam prinsip mendidik, tidak dapat dilakukan dengan paksaan, harus dengan membangun kesadaran terutama bagi anak-anak. Berikan pengetahuan, edukasi dan contoh (model) terlebih dahulu, sehingga anak memiliki kesadaran pribadi tanpa merasa terpaksa melakukannya dan benar-benar yakin saat memutuskan menggunakannya, jadi tidak dipandang hanya sekedar seragam, namun menyadari makna mengapa harus menutup aurat”.

Harus Ada Pembinaan dan Sanksi Tegas Sebagai Penegakan Aturan

KPAI mendukung adanya pembinaan selain sanksi tegas dalam penerapan aturan SKB 3 Menteri tersebut, apalagi Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan hukum. Mengingat, dalam SKB 3 Menteri, sekolah-sekolah dan daerah yang memiliki aturan bertentangan dengan SKB 3 Menteri tersebut, diharuskan mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 (tigapuluh) hari kerja sejak keputusan bersama tersebut ditetapkan.

“Namun, sebelum memberikan sanksi tegas, KPAI mendorong agar para pendidik dan Kepala Sekolah wajib diberikan dahulu sosialisasi sekaligus pemahaman terkait ketentuan peraturan perundangan lain yang mengharuskan sekolah-sekolah negeri untuk menyemai keberagaman, menguatkan persatuan, mewujudkan nilai-nilai pancasila dan menjunjung tinggi HAM.  Harus diberikan pengetahuan juga tentang hirarki peraturan perundangan, bahwa aturan di level sekolah dan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya,” urai retno.

Jika terjadi pelanggaran dalam ketentuan dalam SKB 3 Menteri tersebut, maka diatur ketentuan pihak yang dapat memberikan sanksi.  Sanksi diberikan secara berjenjang, tergantung siapa yang melakukan pelanggaran tergantung di level mana pelanggaran tersebut terjadi. Jika yang melakukan pelanggaran adalah pihak sekolah (Kepala Sekolah, Pendidik atau tenaga kependidikan), maka yang berhak menjatuhkan sanksi adalah pemerintah daerah. 

Ketika yang melakukan pelanggaran adalah Pemerintah Daerah (Kabupaten/kota), maka yang akan memberikan sanksi adalah Gubenur. Jika pelaku pelanggaran adalah Gubenur, maka yang berhak memberikan sanksi adalah Kementerian Dalam Negeri.  Tindak lanjut atas pelanggaran SKB 3 Menteri akan diterapkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Sedangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam ketentuan SKB 3 Menteri juga dapat memberikan sanksi kepada sekolah terkait pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya. 

“Hal ini memang kewenangan Kemdikbud yang dapat dipergunakan untuk memberikan tekanan dan sanksi kepada pihak sekolah yang membandel tidak mematuhi SKB 3 Menteri, meskipun ada plus minusnya. Misalnya, peserta didik yang bersekolah di tempat tersebut menjadi terdampak dalam pelayanan proses pembelajaran di sekolah yang berkualitas dan berkeadilan karena adanya penghentian bantuan pendanaan,” pungkas Retno. (Jak)