KPAI: Kasus Siswi Non Muslim Wajib Berhijab di Padang, jadi Pintu Masuk Evaluasi Aturan Sekolah dan daerah yang Diskriminatif  

MUS • Tuesday, 26 Jan 2021 - 15:17 WIB

Jakarta- Sejumlah siswa nonmuslim di Padang, Sumatera Barat, dalam wawancaranya dengan salah satu media nasional, berharap bisa bebas ke sekolah tanpa mengenakan jilbab. Secara pribadi, mereka tidak ingin berjilbab tetapi enggan untuk menolak aturan sekolah. Dinas Pendidikan Sumbar menyatakan akan segera mengirim surat edaran ke sekolah agar merevisi aturan yang berpotensi diskriminatif terhadap siswa nonmuslim.  

Ada beberapa siswi nonmuslim yang diwawancarai oleh media nasional tersebut. Tidak hanya dari SMKN 2 Kota Padang, tetapi ada siswi SMKN 3 Kota Padang, SMKN 12 Padang, SMAN 16 dan SMAN 18 Kota Padang. Mereka mengaku telah menggunakan seragam jilbab ini sejak duduk di jenjang SD dan SMP, meskipun mereka bukan beragama Islam. Bahkan ada salah satu siswi nonmuslim yang jujur mengatakan, "Saya akan melepaskan jilbab saya jika diberi kesempatan." 

Karena berjilbab, para siswi nonmuslim tersebut kerap mengalami salah sangka kalau mereka muslim dari orang sekitar, termasuk para gurunya. Salah satunya menceritakan bahwa dirinya sering ditegur guru karena tidak ikut shalat berjemaah di sekolah. Orangtuanya sampai meminta kepada sekolah agar saat pengambilan foto untuk ijazah, anaknya tidak menggunakan jilbab.

KPAI mengapresiasi Kepala Dinas Pendidikan Sumbar Adib Alfikri yang akan mengkaji ulang aturan yang berdiskriminatif. Kadisdik Sumbar mengatakan, atas munculnya kasus di SMK 2 Padang, dinas dalam waktu dekat mengirimkan surat edaran kepada kepala sekolah SMA/SMK, yang dikelola provinsi. Melalui surat edaran itu, dinas meminta sekolah untuk mengkaji ulang aturan-aturan yang berpontensi memunculkan intoleransi. Sementara untuk SD dan SMP yang dikelola kabupaten/kota, Adib akan berkoordinasi dengan kepala disdik kabupaten/kota terkait aturan ini.

Munculnya Praktik Intoleransi di Berbagai Sekolah

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berharap kasus SMKN 2 Kota Padang menjadi pintu masuk bagi pembenahan dan evaluasi berbagai aturan di sekolah dan di daerah yang diskriminatif dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atau hak-hak anak sebagai diatur dalam UU Perlindungan Anak. Apalagi banyak survey dan penelitian yang memberikan fakta lapangan bahwa terjadi praktik-praktik intoleransi di sekolah di berbagai daerah di Indonesia. 

Berbagai penilitian terkait ada atau tidaknya  praktik intoleransi di sekolah dilakukan oleh beberapa lembaga, diantaranya adalah Setara Institute dan Wahid Institute.  Menurut hasil penelitian dari Wahid Institute, sebagian guru, termasuk kepala sekolah, cenderung lebih memprioritaskan kegiatan ataupun nilai-nilai agama mayoritas saja. Selain itu, sebagian guru juga dinilai tidak dapat membedakan antara keyakinan pribadinya dengan nilai dasar toleransi yang seharusnya ia ajarkan ke muridnya.

Hal ini salah satunya terjadi di Bali pada tahun 2014. Pada saat itu terjadi kasus pelarangan penggunaan jilbab di beberapa sekolah seperti SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar. Selain itu Juni 2019 lalu, surat edaran di Sekolah Dasar Negeri 3 Karang Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, menimbulkan kontroversi karena mewajibkan siswanya mengenakan seragam Muslim. 

Intoleransi juga sempat terjadi di SMAN 8 Yogyakarta karena kepala sekolahnya mewajibkan siswanya untuk mengikuti kemah di Hari Paskah. Protes yang dilakukan sebelumnya oleh guru agama Katolik dan Kristen tidak ditanggapi oleh kepala sekolah yang pada akhirnya mengubah tanggal perkemahan setelah ada desakan dari pihak luar.

Pada awal tahun 2020, seorang siswa aktivis Kerohanian Islam (Rohis) SMA 1 Gemolong, Sragen, merundung siswi lainnya karena tidak berjilbab. Kasus tersebut kemudian viral dan menarik begitu banyak perhatian. Pada akhirnya siswi yang dirundung pindah sekolah ke kota lain, karena ia merasa tidak aman dan nyaman dengan cara temannya yang terlalu jauh memasuki privasi dirinya. 

Kasus itu memprihatinkan, apalagi terjadi di sekolah negeri. Sekolah semestinya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman untuk tumbuh kembang anak. Potensi intelektual dan spiritual (keagamaan) diasah sedemikian rupa hingga kelak menjadi bekal bagi dirinya untuk hidup di masa depan. Nyatanya, sekolah terkadang menjadi tempat yang tidak ramah bagi siswa yang berbeda.

Dari berbagai kasus intoleransi dan diskriminasi yang terjadi di sekolah, maka “KPAI mendorong pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan di sekolah-sekolah negeri. Sekolah harus menajadi tempat strategis membangun kesadaran kebhinekaan dan toleransi. Upaya-upaya yang bisa dilakukan dengan peningkatan kapasitas kepala sekolah, guru-guru, termasuk pejabat di dinas pendidikan atau kementerian pendidikan,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan.

“Harus ada partisipasi orang tua murid untuk memastikan agar anak-anak mereka tidak mengalami diskriminasi atau mengambil jalan pemahaman intoleran. Mereka bisa melaporkan kasus-kasus diskriminasi kepada lembaga pengawas ekstrenal seperti Ombudsman atau organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu ini. Bisa pula memaksimalkan peran forum guru. Forum guru bisa menjadi tempat di mana mereka bisa bersama-sama mencari solusi membangun nilai-nilai toleransi,” tambah Retno.

Terkait persoalan ini, KPAI merekomendasikan beberap hal, di antaranya: 

KPAI sudah berkoordinasi dengan Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung, yang pada Senin, 25 Januari 2021 kemarin melakukan pertemuan secara daring dengan Ombudsman Sumatera Barat dan pihak SMKN 2 Kota Padang. KPAI dan Komnas HAM  memiliki konsen yang sama terkait perlindungan terhadap ananda JCH, maupun ke 46 anak lain yang non Islam di sekolah tersebut pasca kasus ini menjadi viral. KPAI dan Komnas HAM mendorong perlindungan agar anak-anak tersebut tidak mengalami pembullyan atau kekerasan lainnya dari warga sekolah, mengingat potensi tersebut kemungkinan terjadi. 

KPAI mendorong P2TP2A Kota Padang melakukan home visit ke ananda “JCH”, agar dapat melakukan asesmen psikologi. Tujuannya untuk memastikan apakah ananda mengalami masalah psikologis setelah kasusnya viral. Jika dalam asesmen adalah masalah psikologis dari dampak kasus ini, maka P2TP2A harus memberikan layanan rehabilitasi psikologis pada ananda JCH.

KPAI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Direktorat Guru dan Tenga Kependidikan untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan ke para pendidik, Kepala Sekolah  serta pengawas sekolah, bagi upaya  menguatkan nilai-nilai demokrasi, persatuan dan kesatuan serta  menjunjung tinggi  Hak Asasi Manusia (HAM). Kesadaran dibangun dari pengetahuan dan dikuatkan dengan regulasi –regulasi yang ada, terkait sanksi jika terjadi  pelanggaran terhadap hak hak peserta didik di lingkungan satuan pendidik, mengingat kasus intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang bukanlah kasus pertama di Indonesia.

Pemahaman pejabat dan guru-guru dari PNS di bidang pendidikan masih tampak kesulitan membedakan area keyakinan pribadi dengan nilai dasar yang dipegangnya sebagai pemerintah. Ini yang menyebabkan mengapa kepala sekolah atau guru mudah melakukan diskriminasi terhadap siswa yang berbeda agama dan keyakinan. Padahal dalam banyak peraturan perundang-undangan, prinsip non-diskriminasi harus dikedepankan. Misalnya dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Mereka yang melabrak aturan ini bisa dilaporkan ke lembaga-lembaga pengawas;

KPAI mendorong Kemdikbud, Kementerian Agama, Kemendagri dan Kementerian PPPA, serta Badan Ideologi Pancasila (BIP) untuk bersinergi  mencegah terjadinya diskriminasi dan intoleransi di dunia pendidikan. Harus melibatkan Dinas-Dinas Pendidikan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, mengingat kasus-kasus intoleransi di sekolah terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Kasus SMKN 2 Kota Padang dapat dijadikan sebagai pintu masuk. (Jak)