Potjo Sutowo: Saatnya Pariwisata Bangkit dari Pandemi Covid-19

ANP • Sunday, 20 Dec 2020 - 19:02 WIB

Jakarta - Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, membuat sektor pariwisata terpuruk. Apalagi, keluarnya aturan untuk menjaga jarak sosial, larangan bepergian dan hanya beraktivitas di rumah saja, berakibat lesunya sektor pariwisata.

Bahkan, stimulus yang disiapkan oleh pemerintah untuk membangkitkan sektor pariwisata, dinilai belum mampu membendung dampak negatif corona COVID-19. Atraksi wisata banyak ditutup tak ada pemasukan bagi mereka. Hunian mayoritas hotel juga turun drastis dan berarti tak ada pendapatan. Padahal sektor pariwisata selama ini digadang-gadang sebagai sumber kontribusi devisa terbesar kedua bagi Indonesia. Namun, pandemi corona COVID-19 yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina, akhir tahun lalu ini, tak terkecuali industri mengubah semuanya.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 terkontraksi cukup dalam hingga -5,32%. Jika kuartal III pertumbuhan ekonomi kembali terkontraksi, maka Indonesia dipastikan masuk jurang resesi. Sejumlah sektor industri pun alami kerugian.

Hal inilah yang menjadi fokus diskusi, solusi peningkatan ekonomi Indonesia melalui sektor pariwisata di masa pandemi, Aliansi Kebangsaan bersama dengan Forum Rektor Indonesia (FRI), dan bekerjasama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), serta Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), kembali menyelenggarakan seri dari Rangkaian FGD dan Diskusi Publik “Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional Dengan Paradigma Pancasila.” FGD yang digelar pada Jumat (18/12) membahas “Penguasaan dan Pengembangan Teknologi di Sektor Pariwisata”.

Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo mengatakan, sejak Pandemi, Indonesia terus mengalami penurunan di sektor pariwisata hingga 80,9%. Indonesia telah kehilangan devisa sekitar 14-19 dolar AS, khususnya Bali yang mencatat kerugian mencapai 9,8 triliun per bulan.

Bahkan, menurutnya, BPS mencatat tingkat pertumbuhan Bali pada kuartal II/2020 anjlok 10,98 persen secara year on year (YoY), Kepulauan Riau turun 6,66 persen YoY, dan Jawa Barat merosot 5,98 persen YoY.

“Bali yang menjadi destinasi pilihan saat ini membatasi jumlah kunjungan dan kegiatan pariwisata sebagai upaya mencegah penyebaran COVID-19. Bali sendiri mengalami kerugian hingga lebih dari Rp8 triliun setiap bulannya. Kondisi ini akhirnya berimbas pada sektor-sektor pendukung pariwisata seperti penerbang, perhotelan, makanan, yang khususnya dimiliki sektor UMKM,” katanya.

Namun, Pontjo yakin, sebagaimana keyakinan banyak pihak bahwa sektor pariwisata akan mengalami kebangkitan. Karenanya, industri pariwisata harus siap beradaptasi dan berbenah. Pembukaan destinasi wisata harus memenuhi aturan dan mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Kebersihan, kesehatan, dan keselamatan dan keamanan menjadi faktor utama bagi wisatawan yang ingin berwisata di masa-masa yang akan datang. Standar baru, kebiasaan baru, dan kultur baru di sektor pariwisata harus dikembangkan sehingga menghasilkan produk pariwisata yang tepat di era new normal nanti.

“Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menyiapkan berbagai kebijakan, salah satunya lewat dana hibah pariwisata. Pemerintah juga telah menyusun program Cleanliness, Health, Safety, and Environment (CHSE) sebagai tatanan adaptasi kebiasaan baru di destinasi wisata dengan melibatkan para pelaku pariwisata,” tambah Pontjo.

Mengatasi masalah tersebut lanjut Pontjo, pemerintahan mencoba membangkitkan kembali sektor pariwisata Indonesia dengan memberikan dana hibah serta menerbitkan SOP tata kelola pariwisata di era kebiasaan baru (new normal) saat ini. Namun demikian, patut kita sadari bahwa transformasi teknologi merupakan hal penting untuk menggerakkan kembali sektor pariwisata Indonesia,” imbuh Pontjo.

Pariwisata berbasis teknologi informasi yang dikenal sebagai e-tourism (IT-enabled tourism), jelas Pontjo, sudah dijalankan di banyak Negara tujuan wisata. Menyadari pentingnya peran teknologi dalam pariwisata, pemerintah telah meluncurkan program ITX (Indonesia Tourism Exchange), yaitu sebuah paltfrom online marketplace yang memberikan kemudahan bagi para wisatawan.

“Harus kita sadari bersama, bahwa dewasa ini, pengetahuan dan teknologi sudah menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan dan kemandirian ekonomi di seluruh sektor,” jelasnya.

Kekuatan suatu bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. Karenanya, kita harus terus berupaya meningkatkan kapasitas Iptek bangsa ini yang memang masih jauh ketinggalan.

Dalam mengejar ketertinggalan teknologi, termasuk teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan sektor pariwisata, sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, industri/dunia usaha, dan pemberdayaan masyarakat sangatlah penting. Dalam kolaborasi kelembagaan ini, dunia usaha/industri tidak terkecuali para pelaku usaha di sektor pariwisata, berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi.

“Peran strategis inilah yang harus selalu disadari dan diperhatikan oleh dunia usaha kita. Tanpa peran dunia usaha, inovasi teknologi tidak mungkin akan berkembang. Oleh karena itu, pengusahanya harus siap, baik dalam jumlah maupun dalam kualitasnya,” jelas Pontjo.

Sementara itu, pakar AIPI yang juga dosen ITB Satryo Dr Ir Myra P Gunawan MT menyampaikan, harapan tinggi terhadap pariwisata Indonesia belum didukung dengan perencanaan yang matang. Hal ini menyebabkan pembangunan pariwisata Indonesia terhambat oleh banyaknya pembangunan sektoral dan tumpang tindih antara sektor-sektor disiplin ilmu.

Di sisi lain, perkembangan industri pariwisata di Indonesia belum mengalami pemerataan sehingga menimbulkan kesenjangan pada sejumlah daerah terutama di timur Indonesia,” katanya.

Masalahnya industri pariwisata sering disalahartikan semata-mata sebagai industri sumber daya alam, padahal industri ini menyangkut pengetahuan, sumber daya intelektual yang memiliki visi ke depan serta kemampuan menelaah permasalahan dan potensi dari dalam.

Menurut Myra, untuk meningkatkan potensi industri pariwisata, pihak-pihak terkait harus berpegang pada empat pilar pembangunan pariwisata, yakni pembangunan destinasi, pengembangan pemasaran, pengembangan institusi atau kelembagaan serta pengembangan sumber daya intelektual.

Dia menjelaskan, penguasaan teknologi kepariwisataan dapat meningkatkan kesejahteraan sebagaimana tertuang dalam tujuan pembangunan kepariwisataan yang selaras dengan UU No. 10 tahun 2009. “Ada tujuan sosial politik yang ingin dicapai dalam pembangunan kepariwisataan seperti cinta tanah air, persatuan, kesatuan, jati diri, dan memperat hubungan antarbangsa,” jelasnya.

Berdasarkan data Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) jumlah kunjungan wisatawan di seluruh dunia menurun 44 persen selama pandemi jika dibandingkan tahun lalu. (ANP)