Pengamat: Normalisasi Hubungan dengan Indonesia, lebih Untungkan Israel  

MUS • Monday, 14 Dec 2020 - 20:56 WIB

Jakarta - Belakangan ini berhembus isu mengenai rencana normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel. Lalu adakah manfaat normalisasi ini bagi Indonesia? sebagaimana yang sudah dirintis Israel dengan Arab Saudi, UEA, Bahrain, Sudan dan Maroko?

Pengamat Pertahanan dan Keamanan, Jannus TH Siahaan mengatakan, normalisasi diplomasi Israel dengan Indonesia akan bernilai "jual" tinggi di pentas Internasional, terutama untuk Israel dan Arab Saudi. Karena Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.  Sekitar 209,12 juta jiwa atau sekitar 87% dari total populasi Indonesia beragama Islam.  “Jika hal itu terjadi, maka Israel akan sangat diuntungkan dari sisi pencitraan. PM Israel Benyamin Netanyahu pun demikian. Seluruh dunia akan tersentak jika pemerintahan Netanyahu berhasil merayu Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik,” kata Jannus.  

Sebenarnya normalisasi ini secara nilai geopolitiknya lebih penting untuk Israel, ketimbang Indonesia.  Israel bermasalah di Timur Tengah, tapi bukan di Asia Tenggara.  Jika mayoritas negara di kawasan Timur Tengah terus-menerus bermusuhan dengan Israel, maka Israel akan selalu menjadi target serangan dan tidak aman. Dan potensi serangan tersebut justru sangat besar dari negara-negara Timur Tengah sendiri, karena faktor geografis dan geopolitik. 

Sementara bagi Arab Saudi, jika berhasil mendorong Indonesia condong ke Israel, maka kerajaan itu akan punya celah mengembalikan pamornya di Timur Tengah, karena semakin dipandang sebagai pemimpin negara-negara muslim yang berhasil memediasi kepentingan negara-negara muslim, baik dengan lawan maupun kawan. 

Lantas bagaimana dengan Indonesia? 

“Jika normalisasi dicetuskan dan direalisir, maka penolakan dipastikan akan muncul. Sebagaimana biasanya.  Karena ketika terkait dengan Israel, maka rerata penduduk muslim Indonesia akan mendadak menjadi syiah dan Iran, yakni melihat Israel sebagai negara yang harus dimusnahkan,” lanjut Jannus.  

Tapi peluang normalisasi itu untuk Indonesia tetap ada, karena konstelasi politik dalam negeri telah membuktikan bahwa apapun yang ingin dilakukan pemerintah, atau jika pemerintah menghendaki sesuatu sebagai kebijakan, maka akan terwujud meskipun diawali dengan banyak penolakan.  Tapi pada akhirnya resistansi itu dalam kenyataannya hilang sendiri.  

“Lihat saja kasus reformasi KPK dan Omnibus Law, pemerintah bisa dengan santai menafikan semua penolakan.  Jadi jika Saudi, UEA, dan Israel bisa membujuk pemerintah Indonesia untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, maka Pemerintah berpeluang untuk mewujudkannya,” tukas Jannus.  

Tapi tentu Indonesia harus cerdik dalam mewujudkannya, merujuk pada istilah tak ada makan siang gratis.  Indonesia harus bisa bernegosiasi dengan keempat pihak,  baik dengan Saudi,  UEA,  Israel, dan Amerika Serikat. Indonesia bisa menjadikan Lembaga Pengelola Investasi sebagai instrumen tawar-menawar dengan Saudi dan UEA, di mana kedua negara harus mengalokasikan sejumlah dana yang besar untuk diinvestasikan di dana abadi Indonesia (LPI), bisa beberapa miliar dollar untuk masing-masing.  

Lantas dengan Israel, Indonesia bisa bernegosiasi untuk mendapatkan teknologi misil dan drone, teknologi intelijen,  teknologi canggih untuk sektor pertanian seperti yang telah lama sukses diaplikasikan Israel di  gurun Negev di Israel, serta investasi dari capital-capital ventura Israel untuk bisnis start up-start up Indonesia.