Cukai Rokok Naik, ini Sederet Manfaatnya  

MUS • Friday, 11 Dec 2020 - 15:06 WIB

Jakarta - Kementerian Keuangan RI baru saja menerbitkan Putusan Menteri Keuangan (PMK) tentang Kenaikan Cukai Rokok 2021 yang menyebutkan kenaikan cukai rata-rata sebesar 12,5% persen. Komnas Pengendalian Tembakau mengapresiasi keputusan yang diambil Kementerian Keuangan RI dengan menaikkan cukai rokok sebagai mekanisme pengendalian konsumsi rokok sesuai fungsinya. 

Belum lama ini, Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (2020) menyampaikan temuannya mengenai adanya pengaruh harga pada peluang anak menjadi perokok. Hasil studi tersebut menunjukkan harga yang semakin tinggi mengurangi kemungkinan anak usia remaja (SMA) untuk merokok. Hal ini berarti, kenaikan harga rokok adalah kunci pengendalian rokok pada anak-anak.

Oleh karena itu, langkah baik Kementerian Keuangan RI dengan menaikkan cukai rokok dan besaran HJE untuk 2021 serta upaya pengecilan celah tarif antar golongan rokok patut diapresiasi sebagai wujud perhatian pemerintah pada masa depan anak-anak Indonesia, dan perlu didukung agar fungsi kendali konsumsi benar-benar berjalan. 

Kenaikan cukai dapat membantu pemerintah dalam masa pemulihan akibat pandemi COVID 19. Harga rokok yang mahal akan membantu upaya menekan konsumsi rokok, meningkatkan kualitas kesehatan, dan rakyat yang lebih sehat akan meningkatkan produktifitas dan mempercepat pemulihan roda ekonomi, mengurangi beban negara baik di pusat maupun daerah. Revenue cukai rokok, melalui mekanisme yang sudah ada, di antaranya pembagian Pajak Rokok Daerah (PRD) dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembaku (DBHCHT) juga dapat digunakan untuk membantu seandainya ada industri kecil dan petani tembakau dan cengkeh yang terdampak dari keputusan PMK ini.

Oleh karenanya, merespon kekhawatiran petani tembakau dan cengkeh mengenai kenaikan cukai ini, dalam konferensi pers hari ini, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, dr. Hasbullah Thabrany mengatakan, petani tidak perlu mengkhawatirkan kenaikan cukai akan membuat mereka gulung tikar. “Justru sebaliknya, kenaikan cukai akan meningkatkan pendapatan negara yang hasilnya sangat bisa dialokasikan untuk perbaikan nasib petani yang selama ini susah. Sudah saatnya pemerintah serius memikirkan nasib mereka yang selama ini tidak punya posisi tawar dalam menjual hasil perkebunannya. Dengan dana cukai ini, pemerintah juga dapat membangun iklim yang lebih sehat bagi petani dan membantu petani tembakau yang ingin menanam palawija, sehingga Indonesiapun mengembangkan swasembada pangan, tidak terus mengimpor bahan pangan tetapi negeri subur ini bisa mengekspor palawija,” katanya. 

Di sisi lain, selain membantu pulih dari dampak pandemi, kenaikan cukai akan membantu Indonesia dalam menyelesaikan dua masalah besar yang saat ini sedang dihadapi, yaitu kemiskinan dan stunting. Seperti yang kita ketahui bahwa konsumsi rokok menjadi konsumsi kedua terbesar di Indonesia (BPS), meskipun ini adalah konsumsi yang tidak produktif. 

Karena itu, kenaikan cukai yang secara otomatis membuat harga lebih tinggi di pasaran akan mendorong keluarga miskin mengerem belanja rokok dan menggantinya dengan konsumsi yang lebih bermanfaat, seperti belanja makanan bergizi, pendidikan, atau kesehatan keluarga.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, Dr. Renny Nurhasanamengingatkan bagaimana kenaikan cukai ini juga akan membantu menurunkan angka anak stunting di Indonesia. “Seperti yang pernah kami sampaikan, berdasarkan temuan kami di 2018, keluarga perokok cenderung memiliki anak stunting. Ini artinya, jika harga rokok naik akibat kenaikan cukai, maka perokok akan mengurangi konsumsi rokoknya bahkan berhenti, keluarga dapat mempergunakan uangnya untuk membeli makanan pokok dan mencegah anaknya stunting,” ungkapnya.  

Namun Dr. Abdillah Ahsan, pakar ekonomi sekaligus Direktur Sumber Daya Manusia Universitas Indonesia berpendapat bahwa kenaikan cukai ini meski cukup baik namun pada akhirnya kurang efektif. Hal ini dikarenakan dalam Putusan Menteri Keuangan ini, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan tidak melanjutkan penyederhaan golongan tarif cukai.

“Kenaikan harga rokok di pasaran sebagai efek kenaikan cukai adalah hal yang kita harapkan karena akan menekan konsumsi rokok, terutama pada anak-anak. Hanya saja, sayangnya, kenaikan cukai ini tidak dibarengi dengan penyederhanaan golongan cukai sehingga industri masih sangat mungkin mengakali harga rokok bisa tetap murah di pasaran dan terjangkau anak-anak,” jelasnya. 

Menurutnya, industri yang menginginkan produknya dikonsumsi sebanyak mungkin mulut sehingga bisa meraup keuntungan sebanyak mungkin, akan berusaha agar produk-produknya hanya dikenai tarif cukai di golongan bawah untuk jumlah produksi yang lebih kecil, sehingga harga produknya  di pasaran menjadi rendah/murah. 

“Ini kenapa kita selalu menemukan produk-produk baru. Sebenarnya ini hanyalah cara industri besar memecah jumlah produksinya agar tarif cukainya kecil sehingga produknya murah dan banyak dibeli. Kalau dia langsung memproduksi dalam jumlah besar, produknya itu akan kena tarif cukai tinggi dan harganya jadi mahal. Jadi sudah seharusnya Pemerintah memberlakukan penyederhanaan golongan agar kenaikan cukai benar-benar efektif untuk menekan prevalensi perokok, terutama perokok anak. Itu kalau Pemerintah sekarang pro pada kesehatan masyarakat dan memperhitungkan masa depan bangsa kita,” tambahnya.

Hal senada disampaikan pula oleh Roosita Meilani, selaku direktur Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan. “Cukai dikenakan kepada suatu barang karena dampak eksternalitas negatifnya terhadap lingkungan/masyarakat. Oleh karenanya kenaikan cukai rokok ini harus memiliki semangat dasar yaitu pengendalian terhadap konsumsi rokok, bukan revenue generator. Maka kenaikan cukai rokok harus terus didorong sampa benar-benar bisa menurunkan prevalensi perokok anak dan dewasa di Indonesia.”