Kisruh Pelabuhan Marunda, Pengamat: Mahkamah Agung Harus Selamatkan Aset Negara

FAZ • Saturday, 14 Nov 2020 - 15:05 WIB

Jakarta - Permasalahan Pelabuhan Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, antara PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan PT Karya Citra Nusantara (KCN) masih belum menemukan titik temu. Penyebab sengketa terkait adanya persoalan pemberian konsensi tanah negara seluas 1.700 meter persegi dan wilayah pantai sepanjang 1.000 meter kepada pihak swasta selama 70 tahun.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Nasional Jakarta, Drs Rusman Ghazali MSi PhD menilai, dengan adanya sengketa ini Mahkamah Agung (MA) harus mengedepankan penyelamatan aset negara dalam menangani Peninjauan Kembali (PK).

“MA harus punya komitmen dan tanggungjawab atas nama negara untuk bersama lembaga eksekutif melindungi dan mencegah pengelolaan aset negara dan nilai ekonominya ke pihak lain (swasta) untuk misi kepentingan pembangunan ekonomi negara yang lebih progresif,” ujar Rusman, Jumat (13/11/2020). 

Rusman mengingatkan, sengketa mengenai Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara, sebagai upaya manipulasi atau praktik kolusi dan korupsi oleh pihak tertentu. Jadi dengan mudah dan jelas terbaca adanya potensi kerugian negara yang besar, mencapai Rp 55,8 triliun, sebagaimana yang dilaporkan KHPP Immanuel, Jhonny & Rekan.

Terkait soal sikap PT Karya Tehnik Utama (KTU) yang berpegang teguh pada perjanjian tahun 2004 dengan kepemilikan saham 85% terhadap PT KCN dan 15% PT KBN dan tidak mempertimbangkan adanya addendum perjanjian III yang disahkan Kemenkumham pada 2015.

Rusman mengatakan, ada kekeliruan prosedur hukum atas pengelolaan aset negara dan nilai ekonominya, tidak boleh mengalahkan kepentingan negara. Apalagi, lanjutnya persoalan ini menyangkut jatuhnya hak kuasa pengelolaan aset negara dalam kurung waktu yang lama (70 tahun) kepada pihak lain melalui kekaburan (pengaburan) perjanjian kerja sama.

“Boleh jadi, ini merupakan 'skema yang sengaja diciptakan' sebagai modus untuk memindahkan atau penguasaan aset negara dan nilai ekonominya ke pihak-pihak tertentu yang hanya mengejar kepentingan individu atau kelompok semata tanpa mempertimbangkan kepentingan ekonomi negara,” tutur Rusman.

Untuk itu menurut Rusman, konsesi PT KCN dengan KSOP V Marunda dalam melakukan pengelolaan tanah negara ini menjadi kasus yang amat serius dipandang. “Kasus tersebut dapat diletakkan sebagai kasus perlawanan hak kuasa negara atas asetnya sendiri dan segala nilai ekonomi yang melekat pada asset tersebut selama 70 tahun ke depan,” tegas Rusman.

Sementara itu, Manajer Hukum PT. KBN (Persero) Ahmad Mawardi menyampaikan bahwa sejak tahun 2015 hingga 2019 tidak ada RUPS PT KCN. Selain itu PT KCN juga tidak membuat RKAP tahun 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020, sehingga tidak ada penyelenggaraan RUPS dan pengesahan RKAP.

Ahmad mengatakan, Laporan keuangan (audit oleh KAP), tidak ada sejak tahun 2015, 2016, 2017, 2018, dan 2019. Sejak tahun 2015 itu, PT. KBN hanya menerima dividen sebesar Rp3,1 miliar. PT KCN juga tidak membuat laporan pertanggungjawaban Pembangunan Dermaga.

“Hal tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan melanggar Anggaran Dasar Perusahaan sehingga mengakibatkan negara cq. PT. KBN (Persero) mengalami kerugian,” terang Ahmad.

Adapun sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima gugatan PT KBN yang membatalkan konsesi PT KCN untuk pengelolaan tanah negara seluas 1.700 Meter persegi dan Wilayah Pantai 1.000 Meter persegi. Di tingkat kasasi, MA tidak menerimanya.

Lalu MA membatalkan putusan PT DKI Jakarta Nomor 754/PDT/2018/PT.DKI, tanggal 10 Januari 2029, yang menguatkan putusan PN. Jakarta Utara Nomor 70/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Utr, tanggal 9 Agustus 2018 yang mengabulkan gugatan Penggugat. MA menyatakan PN Jakut tidak berwenang mengadili perkara tersebut.