Aliansi Kebangsaan: Pendidikan Harus Beradaptasi Dengan Zaman dan Berlandaskan Paradigma Pancasila

ANP • Friday, 13 Nov 2020 - 22:47 WIB

JAKARTA - Aliansi Kebangsaan dan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti menaruh perhatian besar terhadap pendidikan nasional karena pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tugas konstitusional yang menjadi tanggung jawab kita bersama.  Ketua Aliansi Kebangsaan/Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti/Ketua Umum FKPPI, Pontjo Sutowo mengatakan, pendidikan merupakan investasi yang akan menentukan masa depan dan kemajuan peradaban bangsa. Bahkan menurutnya, pendidikan merupakan persoalan hidup dan matinya seluruh bangsa (education is a matter of life and death for the entire of nation).

"Karenanya, kita semua tentu sepakat bahwa nasib bangsa ini di masa depan sangat bergantung pada kontribusi pendidikannya. Kata Yudi Latif, pendidikan adalah benih harapan," tegas Ketua Aliansi Kebangsaan/Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti/Ketua Umum FKPPI, Pontjo Sutowo, dalam acara bedah buku secara virtual pendidikan yang berkebudayaan karya Yudi Latif di Jakarta, Jumat, (13/11/2020)

Pontjo menjelaskan, sistem pendidikan nasional mengemban misi atau amanah masa depan bangsanya. Demikian juga pandangan Daoed Joesoef (2001) tokoh pendidikan nasional kita bahwa “sistem pendidikan nasional” dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.

"Jangan menanti apapun dari masa depan, karena kita sendirilah yang harus menyiapkannya," katanya.

Ia menilai, dalam konteks menyiapkan masa depan tersebut, sistem pendidikan nasional Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi. "Kita tidak mungkin menghindar dari arus globalisasi dengan segala pengaruhnya termasuk penetrasi kebudayaan yang begitu gencar, sehingga tidak terhindarkan masuknya aneka-ragam paham/nilai/ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai ke-Indonesiaan. George Ritzerz dalam bukunya “The Globalization of Nothing (2005)” mengingatkan bahwa globalisasi budaya sangat berbahaya karena dapat menghilangkan identitas suatu bangsa," ujarnya.

Ketua Aliansi Kebangsaan menilai, selain menghadapi penetrasi budaya melalui globalisasi, tanpa disadari bangsa ini juga menghadapi medan pertempuran budaya. "Hal ini selalu saya sampaikan di berbagai kesempatan untuk menggugah kesadaran dan kewaspadaan kolektif kita bahwa perang Generasi-IV dewasa ini, untuk menghancurkan sebuah bangsa, lebih mengutamakan penggunanan senjata non-militer (softpower), seperti penghancuran nilai, budaya, perusakan moral generasi masa depan bangsa, ekonomi, politik serta bidang kehidupan nasional lainnya," tambah Pontjo. 

Menurutnya, perang kebudayaan saat ini bahkan sudah terjadi hegemoni budaya (cultural hegemony) oleh negara-negara tertentu atas negara-negara lain. Dalam konteks inilah, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Sebagai wahana penyemaian nilai-nilai dan pembangunan budaya, pendidikan nasional sudah seharusnya tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.

"Menurut hemat saya, pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan akan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian," kata Pontjo.

Ia menegaskan, keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor)  maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa. Signifikansi budaya terhadap kemajuan sebuah bangsa dikemukakan oleh Yudi Latif dalam bukunya ini dengan sangat komprehensif. Gunnar Myrdal pada tahun 1968 melakukan studi mengapa faktor budaya menjadi kendala utama untuk mencapai kemajuan dan modernisasi di negara-negara Asia Selatan seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka. Tetapi di negara-negara lain di Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan) justru menjadi kekuatan penggerak pembangunan, kemajuan ekonomi, dan modernisasi. Bahkan, Jared Diamond dalam bukunya “Collapse” (2014) menyatakan bahwa kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang yaitu terkait sistem nilai atau budaya, dan cara-cara penyelesaian yang ditempuh oleh bangsa tersebut terkait dengan tata kelola, seperti dicontohkan runtuhnya Uni Soviet, atau Yugoslavia beberapa tahun lalu.

"Mengingat demikian signifikannya peran budaya bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa, maka pendidikan tidak bisa lepas dari kebudayaan, karena pendidikanlah menurut Ki Hajar Dewantara adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan. Hal ini juga disampaikan dengan sangat jelas oleh Yudi Latif dalam bukunya ini," kilahnya.

Oleh karena itu ujar Pontjo, pendidikan nasional yang harus dikembangkan adalah pendidikan yang berwawasan multikulturisme. Dalam pandangannya, pertautan antara Pendidikan dan multikultural merupakan solusi atas realitas budaya bangsa Indonesia yang beragam sebagai sebuah proses pengembangan seluruh potensi yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan agama.

"Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat disangkal dan dinegasikan oleh siapapun. Keunikan budaya yang beragam tersebut memberikan implikasi pada pola pikir, tingkah laku dan karakter yang sering kali berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, pergumulan antar budaya memberikan peluang terjadinya konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan menghormati satu sama lain. Proses untuk meminimalisir konflik inilah memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan budaya, lebih khusus “multikultural” dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling memahami dan menghormati serta membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan," kilahnya.

Ia menegaskan, tidak ada kebangkitan dan kemajuan tanpa diusahakan secara sengaja dan penuh kesadaran (socially and politically constructed). Dan upaya itu harus dimulai dari dunia pendidikan kita.

"Pendidikan yang diperlukan untuk memenuhi tantangan zaman berlandaskan paradigma Pancasila adalah dunia pendidikan transformatif yang mampu mengembangkan manusia pembelajar seumur hidup yang berkarakter, kreatif, dengan kemampuan pengurusan (tata-kelola) dan kepemimpinan dalam rangka mengupayakan kebaikan hidup bersama. Untuk itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada pengajaran teori, tapi harus memperkuat penanaman nilai.  Pepatah mengatakan, “Di atas sekelompok teori kita membangun sebuah mazhab (school of thought), di atas sekelompok nilai kita bangun “budaya”. Dan itulah menurut saya arus utama  pemikiran Yudi Latif dalam buku ini," katanya. (ANP)