Pengamat: Debat Pilkada Surabaya tidak Bisa jadi Acuan Pemilih

Mus • Thursday, 5 Nov 2020 - 11:08 WIB

 

Surabaya - Pelaksaan debat Pilkada Surabaya yang berlangsung pada Rabu malam, tidak bisa dijadikan acuan bagi pemilih untuk menentukan pimpinan Kota Surabaya  5 tahun ke depan. Hal ini disampaikan Surokim Abdussalam, pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura. Surokim menyatakan, memahami panggung debat di pilkada memang tidak cukup hanya dengan melihat adegan panggung yang terbatas durasinya, tapi juga melihat konteks dan preferensi pemilih. 

"Kita semua tahu debat calon itu lebih diadopsi dari praktik masyarakat barat yang low context culture. Sementara kita ini sebagian besar high context culture," ujar Surokim yang selama ini dikenal sebagai pengamat politik papan atas di Jawa Timur.

Kondisi ini menurut Surokim akan berimbas pada ketertarikan masyarakat untuk memberikan suaranya pada 9 Desember mendatang. Surokim menilai bahwa debat publik tidak akan cukup mengangkat prosentase jumlah pemilih dalam memberikan suaranya. Maka tidak heran jika efektivitasnya untuk elektabilitas seperti di pilkada Surabaya hanya 6% saja. 

"Jadi sebenarnya sulit mengatakan menang kalah karena efektivitasnya kadang tidak linier," lanjut Surokim.

Dicontohkan oleh Surokim, pernah dalam debat pilpres Jusuf Kalla sangat taktis dan ofensif ke SBY yang waktu itu menanggapi dengan tenang. Respons publik akhirnya justru berbalik ke SBY. 

"Ya begitulah konteks budaya high context culture. Jadi kadang kadang terlihat debat ofensif itu seksi utk performance panggung tetapi tetap harus diingat bahwa kadang tidak linier dimata pemilih yang majority kelas menengah ke bawah. Publik kadang masih melihat bahwa fatsun itu konteks budaya kita juga kadang berkontribusi signifikan," lanjut pria yang menjabat Dekan Fakultas FISIB Universitas Trunojoyo Madura.

Sejauh ini pemilih kritis dan rasional cenderung menyukai gaya ekpresif yang berbasis data karena mereka bisa mentracking dan mengkonfirmasi ulang melalui medsos atau sumber lain. 

"Jadi sekali lagi ofensif menurut saya tidak selalu efektif jika dihubungkan dengan perilaku memilih warga dalam konteks high context culture. Namun sebagai sebuah panggung performance untuk pemilih kritis dan rasional gaya itu kadang dianggap seksi," pungkas Surokim.

Surokim juga berharap pemilih untuk tidak selalu melihat panggung debat dengan indikator menang kalah, karena bisa jadi kadang tidak linier dengan efektivitas dalam konteks masy yang high context culture. (Her)