Pengamat: Erdogan Layak Mengecam Macron atas Islamophobia yang Provokatif

Mus • Monday, 26 Oct 2020 - 18:16 WIB

Jakarta - Pemerintah Perancis sempat memajang kartun kontroversial yang menghebohkan karena dianggap menghina Nabi Muhammad saw. di beberapa kantor pemerintahan. Begitupun pernyataan sentimen SARA islamophobia dari pejabat pemerintahan Perancis, terkait pakaian dan makanan yang berdasarkan keyakinan keagamaan tertentu.

Tindakan itu kemudian memicu ketegangan antara Presiden Turki, Recey Tayyip Erdoğan dan Presiden Emmanuel Macron. Pengamat politik internasional, Arya Sandhiyudha memahami kecaman Erdogan, karena efek islamophobia memang bisa sangat meluas.

"Dalam persoalan ini saya melihat relevansi teorisasi Ahmet T. Kuru (2007) yang pernah menganalisa dua pola sekulerisme di beberapa negara, yaitu sekulerisme asertif dan sekulerisme pasif. Pola sekulerisme asertif memang selalu memancing benturan antar peradaban," kata Arya yang mendapatkan gelar Doktor bidang Hubungan Internasional dari İstanbul University, Turki.

Arya menilai Perancis adalah salah satu negara yang dinilai masih mempraktikkan 'Assertive Secularism' yang bersikap agresif terhadap ekspresi keyakinan keagamaan di ranah publik. "Sayangnya, meskipun sudah terbukti pendekatan itu mengundang potensi benturan peradaban, kontroversi, dan kecaman, namun Macron masih mempertahankan pendekatan tersebut," tambah Arya.

Turki, menurut penjelasan Arya, sebenarnya juga pernah menerapkan 'Assertive Secularism'. "Akan tetapi, sejak masa Erdoğan kan sudah beralih menjadi 'Passive Secularism' yang dalam studi AT Kuru lebih dekat kepada contoh cara Amerika Serikat dalam memberikan ruang kebhinekaan, multikulturalisme dalam ekspresi praktik keyakinan keagamaan di ranah publik," ujarnya.

Arya yang juga Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) menyimpulkan bahwa Erdoğan layak mengecam Macron. "Di tengah iklim multikulturalisme, liberalisme, dan kebebasan di Eropa, tentu saja Erdoğan layak mengecam Macron, karena masih mempertahankan praktik sekulerisme asertif yang anti, agresif, dan represif terhadap ekspresi keyakinan keagamaan di ruang publik," tutup Arya. (Jak)