Kowani Kecam Anak-Anak Dilibatkan Aksi Unjukrasa

ANP • Saturday, 10 Oct 2020 - 16:16 WIB

JAKARTA - Meskipun menuai pro dan kontra, di masyarakat DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Omnibuslaw. Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) bersikap menegaskan, menghormati penyampaian aspirasi rakyat atas kebijakan pemerintah yang disahkan DPR RI tersebut.

Namun demikian, Kowani menyesalkan, dalam upaya penyampaian pendapat yang dilakukan ternyata, ada pihak-pihak yang melibatkan anak-anak dalam kegiatan penyampaian aspirasi politik di jalan.

“Hasil pemeriksaan polisi di HP anak-anak tersebut ditemukan pesan berantai dari WhatsApp Group. Pesan tersebut berisi ajakan demo menggugat UU Cipta Kerja,” kata Ketua Umum Kowani Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd. dalam konferensi pers secara virtual, Sabtu (10/10/2020).

Menurut Giwo, hingga kini, Polda Metro Jaya telah menahan 66 anak sekolah berlatar belakang siswa SMP dan SMU dalam aksi demonstrasi pada 7 Oktober 2020. Menurutnya, polisi menemukan simbol-simbol sekolah. Bahkan dalam aktifitas demo, anak-anak sekolah ini turut melakukan perbuatan anarkis seperti melempar batu dan benda-benda lainnya ke arah polisi dan merusak fasilitas umum.

Giwo menjelaskan, pelibatan anak dalam kegiatan politik termasuk penyampaian aspirasi politik di jalanan adalah bertentangan dengan Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 15 UU 35 Tahun 2014 menyebutkan, Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung kekerasan, pelibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual”.

Kowani menyesalkan pihak yang menjadikan anak sebagai obyek dan horban hate speech (ujaran kebencian) dan hate spin yakni pemelintiran kebencian yang beredar di media sosial dan WhatsApp Group.

"Anak-anak yang harusnya terlindungi justru menjadi korban dari beredarnya informasi memecah belah para pemimpin bangsa, memecah belah anak bangsa apalagi jika informasi yang tersebar berisikan berita bohong (hoax)," katanya.

Selain itu, Kowani juga menyesalkan upaya yang dilakukan orang dewasa mengatasnamakan dosen, di media sosial menjanjikan memberikan nilai A bagi mahasiswa yang ikut dalam demonstrasi menolak UU Omnibuslaw. Ia menilai, janji propaganda yang dilakukan dosen tersebut ibarat api, ia memerankan diri sebagai minyak tanah yang dapat membakar api yang menyulut ke seluruh daerah di Indonesia.

“Harusnya dosen atau kampus memberi tauladan yang baik dalam penyampaian aspirasi yang menjunjung tinggi aturan hukum, norma, dan tidak anarkis,” ujar Giwo.

Namun, kenyataannya demontrasi yang terjadi berlangsung anarkis dan penuh dengan kekerasan. Propaganda dosen bagi anak-anak sekolah (bukan mahasiswa) yang disampaikan di media sosial tentu dianggap sebagai nilai yang dijunjung tinggi, bahwa demonstrasi adalah satu-satunya jalan paling cepat untuk mendapatkan nilai A dibandingkan jika dilalui dengan jalan perkuliahan selama 16 kali pertemuan dalam 1 semester.

Apalagi jika ada dosen yang mengajak mahasiswanya demo dengan janji akan lulus dengan nilai A, tentu hal ini sangat bertentangan dengan kurikulum perguruan tinggi di mana aktifitas pendidikan jenjang Sarjana harus ditempuh dengan 140 SKS.

Kowani menghimbau kepada para keluarga dan pendidik untuk menjaga situasi tetap kondusif dengan menjaga anak-anak mereka tetap terlindungi. Apalagi saat ini pandemi Covid-19 masih menghantui kita semua. Jangan sampai anak-anak menjadi korban dari kluster demonstrasi dalam penularan Covid-19. (ANP)