Nasabah WanaArtha Desak OJK Jalankan Fungsi Perlindungan Konsumen

ANP • Thursday, 8 Oct 2020 - 13:00 WIB

JAKARTA, Pemegang Polis WanaArtha kecewa terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang menyidangkan kasus Jiwasraya.

OJK dinilai tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan, khusunya terkait perlindungan konsumen dalan hal ini Pemegang Polis asuransi. Sedangkan Majelis Hakim tak memperkenankan nasabah WanaArtha menyampaikan aspirasinya yakni pencabutan sita rekening WanaArtha yang telah menelan korban ribuan nasabah.

"Tidak sedikit nasabah WanaArtha yang tidak bisa berobat ke rumah sakit karena keadaan kritis, bahkan kemampuan ekonomi makin terbatas bagi para pensiunan hingga yang memilki usaha semakin menumpuk hutang yang mereka tanggung yang tidak bisa terbayarkan karena sangat bergantung kepada manfaat nilai polis. Semua masalah bersumber lantaran Kejaksaan Agung menyita rekening WanaArtha. Padahal, mereka sangat berharap pembayaran hak-haknya sebagai Pemegang Polis dapat segera mereka dapatkan. Sayangnya Majelis Hakim tidak memperkenankan kami menyampaikan fakta-fakta dan kondisi kekinian tersebut di depan persidangan. Termasuk perkembangan terbaru tentang pernyataan Jampidsus yang memutarbalikkan fakta dan cenderung melontarkan fitnah baik bagi nasabah maupun perusahaan yang menbuat kecemasan dan penurunan imun ribuan nasabah yang bisa berakibat kematian. Pernyataan Jampidsus dalam forum resmi kenegaraan di Raker DPR yang tidak berdasarkan fakta menimbulkan risiko politik dan hukum. Beliau harus mempertanggungjawabkan. Hal ini yang kami sampaikan ke Majelis Hakim untuk menemukan fakta," jelas Hendro memerinci.

Hendro yang ditemani nasabah dari Surabaya dan Jember meminta Majelis Hakim PN Jakpus yang menangani kasus Jiwasraya untuk memerhatikan nasib ribuan nasabah WanaArtha yang asetnya dibekukan akibat korupsi Jiwasraya.

"Kami meminta Majelis Hakim yang diketuai Ibu Rosmina untuk membantu nasabah WanaArtha yang asetnya tersandera atau dibekukan karena dikaitkan dengan korupsi Jiwasraya untuk dapat mempertimbangkan putusan dengan fakta dan kebenaran yang ada di lapangan," tegasnya.

Di tempat sama nasabah WanaArtha lainnya, Hj Dewi Bastomi menegaskan dampak dari kasus Jiwasraya sungguh sangat memberatkan banyak Pemegang Polis karena tidak bisa merasakan manfaat, diantaranya tidak dapat membayar biaya rumah sakit untuk pengobatan kanker dan penyakit kronis lainnya sehingga ada beberapa nasabah akhirnya meninggal dunia karena tak sanggup membiayai perawatan kesehatannya.

Sayangnya pada sidang pembacaan replik dan duplik atas terdakwa Joko Hartono Tirto (JHT) dalam kasus Jiwasraya itu, Majelis Hakim tidak bisa menerima keinginan nasabah WanaArtha  di dalam persidangan.

Hendro menyesalkan Majelis Hakim tidak berkenan menerima surat, dokumen, data serta dinamika perkembangan terkini terkait penyitaan WanaArtha. 

"Saat saya meminta waktu hanya 5 menit ternyata majelis tidak bisa menerima. Itu saya sampaikan karena Pemegang Polis WanaArtha telah mengirimkan surat keberatan sita melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PN Jakpus pada September? lalu. Namun tidak mendapatkan jawaban dari surat permohonan terdahulu hingga saat sekarang," ucapnya.

Ketua Majelis Hakim, Dr Rosmina meminta pihak ketiga untuk menyampaikan keberatan dan data-data pendukung melalui PTSP PN Jakpus.

Meski begitu Hendro dan puluhan nasabah WanaArtha yang mengikuti sidang hingga sore hari tetap menghargai keputusan Majelis Hakim sesuai authority mereka.

"Disini kami ketuk nurani aparat penegak hukum untuk bersikap adil dan manusiawi terhadap nasib nasabah yang tidak mengetahui adanya korupsi Jiwasraya. Tidak terlibat baik sebagai tersangka apalagi terdakwa. Nasabah WanaArtha ikut menjadi korban dan tersandera atas kasus Jiwasraya. Nasabah WanaArtha meminta keadilan dan kebenaran. Jangan jadikan kami korban oleh penguasa dzalim," ucapnya.

Bukan Sikap DPR

Pada kesempatan itu Hendro juga menyayangkan sikap pejabat negara yang justru tidak membantu mencari solusi atas penderitaan masyarakat akibat salah sita oleh Kejaksaan. Pernyataan yang dimaksud dilontarkan oleh salah satu anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra yakni Wihadi Wiyanto.

Pernyataan yang dia kutip dari media menurutnya tidak mewakili sikap fraksi karena tersampaikan bukan dalam forum rapat resmi di DPR sehingga sangat jelas dilebih-lebihkan yaitu penggunaan frasa “DPR”, dalam judul portal berita : DPR Dorong Nasabah Polisikan Penggelapan Di WanaArtha”. 

"Apa yang disampaikan Yang Terhormat Pak Wihadi sebagai wakil rakyat di dapil saya itu adalah bentuk pernyataan atau opini pribadi yang merujuk pada pendapat pribadinya belaka dan bukan sikap fraksi atau partai. Apalagi menyimpulkan sebagai sikap lembaga atau institusi yang namanya DPR tentu memiliki konsekuensi hukum dan politik," ucap Hendro.

Pemegang Polis dari Bali Desi Widyantari mengamini bahwa merujuk pada pasal 372 KUHP Pidana tentang arti "penggelapan" yang berarti “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

"Jika dilihat dari pengertian tersebut harus adanya unsur kesengajaan dan melawan hukum. Dimana sampai saat ini saya tidak melihat adanya unsur "kesengajaan" dari pihak perusahaan terbukti dengan langkah-langkah yang diambil manajemen untuk memerjuangkan hak Pemegang Polis, seperti yang dilakukan waktu itu dengan upaya hukum Praperadilan serta selama ini perusahaan juga mengelola asetnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau regulasi yang berlaku dan juga belum adanya unsur “melawan hukum” karena sampai saat ini belum ada keputusan hakim yang menyatakan WanaArtha memang bersalah terlibat dalam tindak pidana korupai Jiwasraya yang merugikan keuangan negara.

Gagal bayar WanaArtha bukan disebabkan manajemen WanaArtha secara melawan hukum mengelapkan dana nasabah. Dana nasabah tersebut masih ada dalam bentuk efek di sub rekening efek (SRE) yang saat ini untuk sementara disita oleh Kejaksaan Agung walaupun WanaArtha bukan tersangka apalagi terdakwa. Karena disita maka WanaArtha tidak bisa melakukan  trading dan membayarkan manfaat dan membayar klaim jatuh tempo kepada nasabahnya. Jadi harus dibedakan latar belakang peeistiwa gagal bayar ini" jelas Desi yanh juga advokat ini.

OJK Dipertanyakan

Di tempat terpisah, Pemegang Polis WanaArtha menemui Komisioner OJK. Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Agus Fadjri selaku Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK RI tersebut, nasabah WanaArtha mempertanyakan alasan kenapa OJK tidak bisa melindungi kosumen asuransi. Padahal, OJK mengetahui bahwa penyidikan terhadap asuransi swasta merupakan kewenangan OJK. Sedangkan Kejaksaan Agung tidak berhak melakukan penyidikan terhadap WarnaArtha sebagai pihak swasta dan bukan perusahaan plat merah atau BUMN seperti PT Jiwasraya (Persero).

"Mengapa penyidik OJK diam saja. OJK sangat paham dan mengetahui kalau keuangan WanaArtha sehat dengan RBC diatas ketentuan. WanaArtha pun bukan sebagai pelaku korupsi, tidak terkait dengan nominee, remiter, bukan tersangka, terlebih terdakwa. Saya juga tegaskan Pemegang Polis WanaArtha tidak ada hubungan dengan kasus Jiwasraya. Sedangkan untuk transaksi beli-jual saham pun juga sesuai Undang-undang Pasar Modal yakni dilakukan di pasar sekunder," kata Drs Wahjudi, Akuntan, nasabah WanaArtha yang pensiunan auditor senior di BPKP RI.

Wahjudi menanyakan mengapa OJK boleh mengizinkan Kejaksaan Agung memblokir dan menyita dan dilanjutkan penyitaan sebagai barang bukti (barbuk) perkara korupsi Jiwasraya. Padahal, hal tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang dari Kejagung yang sejatinya bukan menjadi hak dan kewenangannya. Toh OJK juga mempuntai Tim Penyidik sendiri yang tentunya akan membantu Tim Penyidik Kejagung sepanjang diminta.

"Harusnya OJK tegss mengatakan kalau Kejaksaan mau menyita rekening yang diduga ada tindak perbuatan melawan hukum dari anggotanya seyogianya menunggu penyidik OJk bekerja dong. Langkahi mayat saya dulu kalau anda mau memeriksa apalagi memblokir bahkan menyitanya karena bukan sepenuhnya wewenang Kejaksaan yang bisa menyelidik dan menyidik plat merah atau BUMN. Di sisi lain, kami melihat OJK tidak mampu berbuat apa-apa atau mandul dan cenderung takut terhadap master mind dari sengkarut Jiwasraya ini. Harusnya OJK dibawah kepemimpinan Pak Wimboh harus mau "pasang badan" dong selaku pengawas WanaArtha dan pelindung nasabah WanaArtha sesuai tupoksi yang diamanatkan Undang-undang. WanaArtha Life ibarat sebagai induk sapi tambun yang menghasilkan susu segar berlimpah akhir 2019 tercatat RBC WanaArtha sebesar 239%. Anehnya kenapa dan mengapa perusahaan asuransi anak negeri yang sudah eksis selama 46 tahun ini harus dibiarkan berjuang sendirian menghadapi singa lapar seperti Kejagung yang siap menerkam siapa saja termasuk sapi tambun itu untuk memenuhi nafsu kekuasaannya," ungkap Wahjudi sebagai Pemegang Polis WanaArtha selama 26 tahun ini.

Dia menegaskan, OJK tak mampu bahkan kehilangsn nyalinya melindungi Pemegang Polis yang harusnya OJK sebagai pelindung dan tidak abai terhadap arogansi kekuasaan namun kenyataannya cenderung "impoten" total yang mengakibatkan seolah "menjerumuskan" dan membiarkan WanaArtha sebagai binaan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK  yang diduga kuat akan "dikorbankan" termasuk ribuan Pemegang Polisnya.

"Kalau OJK menyatakan bahwa owner harus kucurkan dana segar, kami lihat itu bukan jawaban yang pas bahkan timbul terulangnya force majeur yang kedua (yang pertama saat blokir 21 Januari 2020). Harusnya OJK minta maaf kepada WanaArtha dan Pemegang Polis karena sudah abai terhadap fungsi pengawasan dan fungsi perlindungan yang seyogianya mereka lakukan sebagai organ negara harus hadir dan melakukan bill out karena membiarkan sita sampai jadi barang bukti. Seharusnya Presiden Direktur WanaArtha Life menggugat perbuatan melawan hukum terhadap Kejaksaan Agung, OJK dan KSEI yang kasat mata telah merugikan nama baik dan reputasi WanaArtha Life serta membiarkan 26 Ribu Pemegang Polis menderita lahir dan batin. Sudah waktunya perusahaan asuransi nasional ini menghitung dan menuntut ganti rugi materiil dan immateriil," ucapnya.

Wahjudi menegaskan, 21 Januari 2020 rekening WanaArtha telah diblokir Kejagung. Kemudian pada 21 Maret dilakukan penyitaan tanpa dilakukan BAP penyitaan. Saat itu nilai SRE, 21 Januari sebesar Rp 4,3 Triliun. Menurut penyidik Kejagung pada 11 September 2020 dana sekitar Rp 2,1 Triliun saja. Dan baru dibuatkan BAP sekitar sidang awal Jiwasraya dan dititipkan dan dicatat oleh KSEI.

"Banyak pembicaraan di Pemegang Polis bahwa SRE sudah diduga kuat "dicairkan" dengan imbalan jasa 20 persen. Andai sita barbuk dibuka dan dikabulkan serta kembali ke WanaArtha apakah SRE tidak tinggal pepesan kosong?. Lalu bagaimana esensi fungsi perlindungan dari OJK untuk Pemegang Polis," tanyanya.

Sementara itu, Effendi salah seorang Pemegang Polis WanaArtha asal Surabaya meminta OJK membantu menyelesaikan persoalan nasabah WanaArtha.

"Kami datang ke gedung OJK karena OJK merupakan lembaga yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap semua investasi yang dilakukan masyarakat pada perusahaan-perusahaan jasa keuangan dan asuransi. OJK merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan dan asuransi seperti asuransi WarnaArtha," ungkapnya.

Dijelaskan Effendi nasabah juga meminta OJK bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan pengecekan terhadap aliran-aliran dana dari asuransi WanaArtha.

"Kita berharap dengan adanya investigasi atau pengecekan yang dilakukan PPATK terhadap semua aliran dana dan transaksi yang dilakukan PT Asuransi Wanaartha Life dapat mengungkap kebenaran tentang aliran dana WanaArtha Life dalam kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang Asuransi Jiwasraya senilai Rp16,8 Triliun. Di samping itu dapat mengungkap mana dana nasabah WanaArtha dan dana dari perusahaan sehingga tidak semua aset WanaArtha dijadikan barang bukti dalam kasus tindak pidana korupsi jiwasraya," jelasnya.

Effendi juga mengatakan untuk menyelesaikan kasus WanaArtha, OJK akan melakukan mediasi dengan pihak Kejaksaan Agung dan Komisi III DPR RI.

"Mediasi yang dilakukan OJK antara pihak Kejaksaan Agung, Komisi III DPR RI, dan nasabah WanaArtha dapat menjadi solusi penyelesaian pembukaan aset-aset ribuah nasabah wanaartha senilai lebih dari Rp4 Triliun," katanya.

Effendi meminta OJK mengatakan yang benar itu benar, yang putih itu putih. "Jangan takut mengatakan kebenaran," tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Pemegang Polis WanaArtha menyerahkan surat, dokumen, dan data-data berdasarkan fakta-fakta kepada Ketua Komisioner OJK RI agar segera ditindaklanjuti permintaan nasabah tersebut dalam hal perlindungan polis yang dilindungi oleh Undang-undang Asuransi dan POJK.

Sementara itu, Agus Fadjri selaku Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK RI berjanji akan menyampaikan kepada Pimpinan OJK dan akan mem-push pihak WanaArtha agar segera mencari solusi dalam pemenuhan kewajiban terhadap hak-hak Pemegang Polis.

Terhadap keinginan Pemegang Polis agar OJK lebih aktif untuk membantu nasabah WanaArtha dalam perlindungan hak-hak sesuaiUndang-undang Perasuransian dan POJK, Agus Fadjri berkata, pihaknya akan menunggu putusan pengadilan terhadap perkara Jiwasraya.  (ANP)