PBNU Desak Pemerintah Tunda Pilkada 2020

Mus • Sunday, 20 Sep 2020 - 15:26 WIB

Jakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, Nahdlatul Ulama berpendapat melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan, sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mal) masyarakat. 

Namun karena penularan Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan.

“Di tengah upaya menanggulangi dan memutus rantai penyebaran Covid-19, Indonesia tengah menghadapi agenda politik, yaitu Pilkada Serentak di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota yang puncaknya direncanakan akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020,” kata Said, Minggu (20/9/2020).

Sebagaimana lazimnya perhelatan politik, momentum pesta demokrasi selalu identik dengan mobilisasi massa. Meski ada pengetatan regulasi terkait pengerahan massa, terbukti dalam pendaftaran paslon terjadi konsentrasi massa yang rawan menjadi klaster penularan. 

Ditambah fakta bahwa sejumlah penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta para calon kontestan Pilkada di sejumlah daerah positif terjangkit Covid-19.

“Oleh karena itu PBNU meminta Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak tahun 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati. Pelaksanaan Pilkada, sungguh pun dengan protokol kesehatan yang diperketat, sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak dalam seluruh tahapannya,” ujar Said.

Kedua, meminta untuk merealokasikan anggaran pilkada bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial. Ketiga, NU perlu mengingatkan kembali Rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama tahun 2012 di Kempeks Cirebon perihal perlunya meninjau ulang pelaksanaan Pilkada yang banyak menimbulkan madharat berupa politik uang dan politik biaya tinggi.