Radio Bisa Apa saat Wabah?

Mus • Monday, 7 Sep 2020 - 10:22 WIB

Oleh: Marlene Karamoy


Di Amerika Serikat, National Public Radio (NPR) sudah rutin mengadakan Student Podcast Challenge, yang mengajak guru dan murid membuat podcast (konten audio). Dalam masa wabah Covid-19, lomba ini mengalami dua kali penundaan tenggat waktu, karena tantangan merekam audio dari rumah. Namun penyelenggara tetap bisa menerima lebih dari 2 ribuan podcasts dari 46 negara bagian dan the District of Columbia. 

Salah satu tren tahun ini adalah proses perekaman dilakukan dari halaman rumah saja, dari komunitas masing-masing, dengan tema yang sangat beragam. Beberapa di antaranya bahkan mengerjakan investigasi lokal. 

Juara kategori sekolah menengah adalah The Mask dari klub podcast The Dragon Kids, murid-murid kelas Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Mereka membahas diskriminasi ras terkait virus corona. 

Dimulai dengan pelajaran kata-kata Bahasa Mandarin seputar Covid-19, seperti masker dan bersin, The Dragon Kids membawa pendengarnya ke pengalaman mereka dengan rumor, komentar rasis dan menyakitkan dari teman-teman sekelas. 

“Mereka bilang kami punya virus corona karena kami orang Cina,” kata salah satu podcaster Amanda Chen. “Mereka mengatakan, kami orang Asia bersatu untuk menyebarkan virus,” tutur Amanda seperti ditulis di website npr.org.

Karya tersebut didorong oleh guru Bahasa Inggris mereka di sekolah negeri di Manhattan, Karin Patterson. Sebelumnya, Bu Guru Patterson membantu siswanya mendesain dan menjual kaos, serta membuat koran.

Di seluruh dunia, radio menjadi salah satu sarana edtech, selain televisi, texting, dan online learning. Tim Edtech Bank Dunia menyebut, radio dipakai di berbagai tempat termasuk di Korea Selatan, Malaysia, sejumlah negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. 

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam laporan di website Bank Dunia, radio tidak disebut sebagai salah satu alat pembelajaran di Indonesia, berbeda dengan berbagai penyedia teknologi belajar online, yang bekerja sama dengan Kemendikbud. Brand-brand ternama terpampang jelas di sana.

Padahal, radio sebenarnya bisa hadir sebagai salah satu solusi pembelajaran jarak jauh (PJJ), atau apa pun aktivitas warga. Radio AM dan FM menawarkan gawai yang relatif lebih murah dan gelombangnya mampu menembus keterbatasan sinyal internet di tempat-tempat tertentu.

Sayangnya kemampuan tersebut tidak pernah disebut dalam pembahasan PJJ. Murid terpaksa naik bukit untuk mengikuti pelajaran. Guru mau tak mau tetap ke rumah-rumah murid, atau sekadar menitipkan buku ke orang tua murid. Solusi yang disiapkan pun sama rata: murid maupun guru diberikan subsidi pulsa. Gawai dan sinyalnya saja, belum tentu selalu tersedia.

Beberapa radio siaran swasta maupun Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) sebenarnya sudah menawarkan solusi PJJ, salah satunya program Belajar di RRI. Guru dihadirkan di studio, dan mengajar di depan mikrofon. 

Atau bisa juga audio hasil konferensi video guru dan para muridnya, diambil untuk disiarkan on air. Materi kurikulum luar jaringan (luring) ‘dipaksakan’ dalam jaringan (daring), lalu audionya disiarkan ke udara lewat radio. Cukupkah proses tersebut? Biarlah murid-murid pendengar radio menjawabnya.

PJJ di radio bukanlah perkara mudah. Banyak pertanyaan skeptis yang harus dijawab. Bagaimana menjaga kenyamanan pendengar lain yang bukan peserta PJJ? 

Bagaimana meyakinkan para murid untuk fokus, karena belajar luring dengan pengajar sekelas menteri saja, belum tentu bisa menarik perhatian para murid, bukan? 

Di sinilah proses kreatif kreator konten radio diuji.

Radio pada masa wabah bukanlah berarti penambahan siaran dari on air ke online. Jika sekadar begitu, sudahlah, sudah terlalu banyak karya collab Youtube atau TikTok challenge yang lebih banyak modalnya, lebih niat produksinya, lebih seru hasilnya, lebih banyak viewers, dan tentu akan lebih viral.

Lebih dalam daripada itu, konten radio pun perlu bertransformasi, sekali lagi, bukan sekadar memindahkan siarannya ke jaringan internet.

Problem serupa sebenarnya terjadi di mana-mana. Bagaimana peribadahan online menyesuaikan durasi dan kemasan, misalnya, tanpa mengurangi esensi ibadah. Bukan sekadar memasang kamera di depan pemimpin umat, lalu menyiarkannya ke dunia maya. 

Bagaimana PJJ tidak sekadar menjadi ajang pembacaan buku sesuai kurikulum melalui konferensi video, tetapi ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai prinsipnya tetap bisa tersampaikan meski dibatasi jarak. 

Seperti contoh di awal tulisan ini, PJJ sebenarnya bukan terbatas pada monolog sang guru. Murid-murid pun bisa tampil sebagai peran utama. Merekalah yang melaksanakan pembelajaran. Mereka yang menapaki tahap-tahap analisis, evaluasi, sampai akhirnya bisa mencipta. Higher Order Thinking Skills atau kemampuan penalaran tingkat tinggi pun tercapai, bagi anak-anak muda era Revolusi Industri 4.0, 5.0, dan seterusnya. Semoga radio pun tetap bersuara lantang di sana.

Selamat menyambut Hari Radio Nasional & Hari Bakti ke-75 RRI 11 September.

Selamat ulang tahun untuk RDI dan Global Radio pada 7 September, serta radio Trijaya pada 26 September 2020. 


Penulis adalah pendengar radio, bekerja di Global Radio