Bertemu Komisi Kejaksaan, Kejagung Harus Adil Sikapi Penyitaan Dana Nasabah WanaArtha

ANP • Monday, 24 Aug 2020 - 07:19 WIB

JAKARTA: Setelah sebelumnya melakukan aksi damai di  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat (7/8/2020) lalu, nasabah atau Pemegang Polis Asuransi WanaArtha Life kembali melakukan aksi persuasif memperjuangkan hak asasi sebagai warga negara yang dilindungi Undang-undang ke Komisi Kejaksaan RI. 

Perwakilan Pemegang Polis (PP) dari 
26 Ribu nasabah dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote, 
menginginkan perlindungan dan keadilan hukum atas penyitaan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) berkaitan dengan Sub Rekening Efek 
(SRE) PT Asuransi Jiwa Wanaartha (PT. AJAW) atau WanaArtha Life yang berakibat hak-hak sebagai Pemegang Polis tidak bisa ditunaikan kewajibannya oleh WanaArtha Life sejak akhir Januari 2020. 

Perwakilan nasabah WanaArtha dalam forum "Hope"  yang
mewakili sekitar 3 Ribu Pemegang Polis mendatangi Komisi Kejaksaan RI. Mereka meminta Komisi Kejaksaan mengingatkan Kejaksaan Agung soal akibat dan dampak luas akibat dibekukannya  rekening efek atas nama WanaArtha terkait dengan dugaan skandal Jiwasraya yang menimbulkan gagal bayar kepada puluhan ribuan nasabah WanaArtha. Ini karena tidak semua dana yang disita Kejaksaan Agung tersebut milik WanaArtha Life, melainkan berasal dana premi milik nasabah atau pemegang polis yang dikelola investasinya oleh WanaArtha.

"Akibat pembekuan tersebut sekitar 26 ribu pemegang polis WanaArtha di seluruh Indonesia sangat menderita. Termasuk saya pribadi. Saya ini pensiunan PNS di BPKP sudah 21 tahun yang lalu dan 26 tahun menjadi nasabah WanaArtha, tepatnya polis asuransi jaminan hari tua. Sejak rekening WanaArtha dibekukan dan gagal bayar dari 7 bulan lalu, saya tidak bisa kontrol rutin ke dokter termasuk tindakan medis berupa operasi ke rumah sakit," ungkap Perwakilan Pemegang Polis, Drs Wahjudi, Akt saat bertemu Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (RI) Dr RM Ibnu Mazjah SH, MH di Kantor Komisi Kejaksaan RI, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (18/8/2020)

Wahjudi menegaskan di usia senja ini, ia harusnya tinggal menikmati hidup, nyatanya ke rumah sakit saja tidak bisa. Celakanya, Wahjudi harus menerima penyakit seperti kanker prostat 8 tahun yang lalu, penyakit mata/ablasio retina 29 tahun yang lalu yang sudah operasi hingga 9 kali, kontrol operasi pada kedua lutut. Bahkan, sejak rekening WanaArtha dibekukan dia dinyatakan dokter menderita Irritable Bowel Syndrome (berpotensi sakit jiwa).

"Usia saya sudah mendekati 80 tahun, kapan saya bisa menikmati hidup yang sebenarnya. Semua rencana yang saya planing hancur berantakan. Anak saya yang mengabdi kepada negara menjadi Dokter Angkatan Laut pun tidak bisa melanjutkan jenjang S2. Bahkan karena tidak kuasa menahan biaya hidup keseharian akibat tidak ada penghasilan yang diandalkan dari nilai manfaat polis WanaArtha, keputusan keluarga besar menjual rumah tak terelakkan. Kita terpaksa akan membeli rumah kecil di pinggiran Jakarta. Tolong Pak Ibu selaku Komisioner Kejaksaan dapat mengingatkan Kejagung, derita yang berdampak luar biasa ini," ungkap Wahjudi. 

Nasib yang sama juga dirasakan Lianto Yoga (64 tahun). Bersama kawan senasib, Wahjudi dan Endang Sri Siti Kusuma, Arek Surabaya ini mau tidak mau harus ikut ke Jakarta mengadukan nasibnya kepada Komisi Kejaksaan.

Usahawan di bidang plastik yang sebelumnya sukses bekerja di Singapura ini mengaku kecewa berat atas perlakuan otoritas atau penguasa karena mengaitkan dana nasabah WanaArtha sebagai objek penyitaan karena kasus Jiwasraya.

Seluruh keuntungan dari usahanya di Negeri Singa waktu itu di simpan di rekening bank Singapura. Namun karena ajakan Pemerintahan Joko Widodo lewat Menteri Sri Mulyani agar dana-dana yang diparkir di luar negeri agar segera kembali ke tanah air karena negara membutuhkan dana segar untuk akselerasi pembangunan dengan program Tax Amnesty maka yang mengambil momentum baik tersebut sebagai sumbangsih untuk masa depan bangsa.

"Waktu itu juga karena Ibu saya jatuh sakit, maka diputuskan untuk pulang ke Indonesia, tanah tumpah darah saya. Kondisi Ibu yang membutuhkan perhatian anaknya, maka saya putuskan menetap di Surabaya dan mengurus orangtua serta bisnis," ceritanya. 

Selain untuk modal memulai bisnis  di Surabaya. Salah satunya, kata Yoga, digunakan untuk membeli polis WanaArtha cukup besar karena reputasi dan kinerja baik.

Namun tak menyangka sama sekali kalau mimpi buruk harus dia dapati. Uangnya tidak bisa kembali karena disita.

Merasa mendapat ketidakadilan, Yoga terkadang mengaku menyesal memutuskan menarik seluruh uangnya di luar negeri kalau akhirnya harus diperlakukan tidak sebagaimana mestinya oleh negara. 

"Uang ditahan, tidak ada manfaat polis sama sekali sejak rekening WanaArtha diblokir dan disita. Ini baru kami berdua bersama pak Wahjudi yang bicara dampak dari pemblokiran rekening. Padahal, ada 26 ribu nasabah Wanaartha di seluruh Indonesia yang mengalami nasib sama dan mungkin lebih parah lagi," ucapnya.

Yoga berharap Komisioner Kejaksaan dapat memberi masukan penting dan memberikan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung agar penyitaan rekening  tersebut segera diangkat dan tidak dijadikan barang bukti serta objek penuntutan karena memang bukan  milik WanaArtha, melainkan justru lebih besar berasal dana dari nasabah yang dipercayakan kepada WanaArtha.

"Mereka harusnya menyita SRE yang diduga terkait transaksi Jiwasraya dan bukan seluruh rekening efek yang sebagian besar adalah premi dari Pemegang Polis agar mereka dapat melanjutkan hidup serta terjamin hak-haknya sebagai Pemegang Polis ," tuturnya. 

Mendengar fakta dan laporan dari PP WanaArtha, Komisioner Kejaksaan RI, Ibnu Mazjah mengaku sangat terkejut dan prihatin atas nasib puluhan ribu nasabah.  Komisioner Ibnu berjanji akan menjadikan kasus ini sebagai atensi besar Komisi Kejaksaan.

"Jujur saja, kami baru mengetahui kalau dampaknya seperti ini bagi Pemegang Polis. Karena selama ini tidak ada yang mengadu ke Komisi Kejaksaan ini. Baru Pemegang Polisi WanaArtha yang datang saat ini," tutur Doktor Ilmu Hukum Unair ini.

Komisioner Ibnu menegaskan, seluruh berkas laporan Pemegang Polis WanaArtha akan diterima secara resmi dan dijadikan bahan telaah Komisi Kejaksaan untuk dijadikan rekomendasi kepada Kejagung.

"Nanti akan kami plenokan, untuk selanjutnya dilakukan pembahasan bersama Ketua dan Anggota Komisioner lainnya. Nanti tim kami akan menyampaikan seluruh proses tahapan yang telah dijalankan kepada nasabah WanaArtha melalui perwakilan yang sudah hadir saat ini," jelasnya.

Sekali lagi, kata Ibnu mengingatkan bahwa Komisi Kejaksaan Republik Indonesia tidak mengeluarkan keputusan, melainkan rekomendasi.

"Hasil kajian ini, kita rekomendasikan kepada Jaksa Agung. Selanjutnya Jaksa Agung lah yang akan membuat keputusan. Tentu, hasil rekomendasi tersebut menjadi rujukan dalam mengambil langkah. Apalagi hal ini terkait hak-hak rakyat banyak yang paling mendasar," tandas Komisioner Ibnu. (ANP)