Sanksi Harus Tetap Ada Bagi Penyiaran Iklan Minuman Keras Dan Eksploitasi Anak

AKM • Thursday, 13 Aug 2020 - 16:37 WIB

Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengkritik penghapusan sanksi bagi pihak yang menyiarkan iklan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan. Dalam Pasal 79 RUU Cipta Kerja (Ciptaker), memuat sejumlah penghapusan pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, antara lain yang memuat ketentuan mengenai pelarangan dan sanksi iklan niaga tentang minuman keras, zat adiktif, hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan dan agama, serta eksploitasi anak di bawah usia 18 tahun. 

“Pasal 58 Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 telah mengatur pemberlakuan sanksi bagi pihak yang menyiarkan iklan minuman keras, zat adiktif, dan hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan, namun ketentuan pemberian sanksi itu diubah dan dihilangkan di draft RUU Cipta Kerja" ujar Kharis. 

Dalam siaran persnya kepada Trijaya FM , Kamis (13/8/2020), politisi dapil Jawa Tengah I ini mengingatkan, apabila ketentuan sanksi ini dihapus, akan semakin banyak pihak yang mengiklankan produk-produk minuman keras dan zat adiktif di media radio maupun televisi.

Kharis merujuk pada ketentuan Pasal 79 draft RUU Ciptaker yang mengubah Pasal 58 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengatur sanksi pidana pada Pasal 46 ayat (3) terkait dengan aturan pelarangan iklan niaga. Larangan tersebut diberlakukan bagi pihak-pihak yang mengiklankan minuman keras dan zat adiktif di media radio dan televisi.

Oleh karena itu, lanjut Kharis, ketentuan mengenai penghapusan sanksi ini bertentangan dengan etika penyiaran karena dapat merusak generasi muda Indonesia. “Ini jelas dapat mengakibatkan kemunduran bagi dunia penyiaran Indonesia” pungkasnya. 

Sebagaimana diketahui sebelumnya, Pasal 79 draft RUU Cipta Kerja mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, antara lain pada Pasal 16, 17, 25, 33, 34, 55, 56, 57, dan 58. (AKM)