Pontjo Sutowo: Kerangka Dasar Kurikulum Adalah Trimatra Pendidikan, yaitu Kebangsaan, Etika dan Logika

ANP • Wednesday, 12 Aug 2020 - 12:07 WIB

JAKARTA - Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI), Pontjo Sutowo mengatakan, bahwa membangun warga negara unggul sangatlah penting bagi sebuah negara bangsa. Sebab, menurut tokoh pendidikan nasional, Daoed Joesoef, eksistensi dan kelangsungan hidup sebuah negara dimulai dari pikiran warga-negaranya. Karenanya, warga negara harus dibangun sebagai benteng ketahanan demi kelangsungan hidup negara-bangsa. 
Berangkat dari pemikiran bahwa membangun manusia Indonesia bukan hanya membangun manusia sebagai individu tetapi juga membangun sebagai warga negara, maka dalam naskah akademik diusulkan kerangka dasar kurikulum adalah Trimatra Pendidikan yang berisi, Kebangsaan-Etika-Logika. Karenanya, penyusunan mata-pelajaran harus mengacu pada desain struktur kurikulum inti pendidikan kita yang pada dasarnya ada empat, yaitu Agama, Kebangsaan, Etika dan Logika. 

“Berbeda dengan negara lain yang tidak menempatkan Agama di dalam kurikulumnya, Indonesia harus menempatkan Agama di dalam kurikulumnya karena selain berhubungan dengan etika maka Agama juga berhubungan dengan kebangsaan/nasionalisme,” ujarnya.

Menurutnya, etika dipakai dalam Trimatra Pendidikan, karena lebih berkaitan dengan hubungan sosial sebagai manusia atau disebut sebagai etika pergaulan. Pada jenjang pendidikan tinggi, etika lebih ditujukan pada etika kebangsaan dan etika dalam dunia kerja. 

“Mata kuliah etika profesi dan etika, yang berkaitan dengan rumpun ilmu masing-masing diperkenalkan, demikian pula etika yang berkaitan kebangsaan, mendahulukan kepentingan umum dibanding kepentingan pribadi ataupun keilmuwan) diperkenalkan,” kata Pontjo yang juga menjabat sebagai Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti.

Ketua Aliansi Kebangsaan tersebut menjelaskan, dalam soal Kebangsaan dapat dimulai dengan pemahaman bahwa setiap bayi yang lahir di Indonesia adalah penduduk Indonesia sesuai dengan etnis atau sukunya, dan melalui pendidikan dia akan dibentuk menjadi agensi dan warga negara Indonesia yang unggul. Konsep warga negara memiliki keterikatan-keterlibatan dibandingkan dengan penduduk yang bersifat lepas. 

“Penduduk adalah manusia sebelum menjadi warga negara, tetapi dia mentransendensikan pula kualitas kewarga negaraannya. Sebagai warga negara dia wajib bisa mempertahankan tanah airnya, baik tanah air fisik, tanah air formal, dan tanah air mental,” kilahnya. 

Menurutnya, logika sendiri dapat kita bagi menjadi tiga rumpun yaitu Literasi Bahasa, Matematika, dan Sains. Semua mata pelajaran bermuara dari ketiganya. Fokus perbaikan matra Logika harus dimulai dari tingkat SD/MI agar kemampuan bernalar pada anak didik sudah dibiasakan dan ditanamkan sejak jenjang ini, karena SD/MI adalah fondasi dari semua pendidikan di atasnya.

“Dengan demikian pada jangka panjang di tingkat SMP akan dipetik hasilnya dengan nilai PISA yang kompetitif dengan negara lain dan ujungnya menjadi manusia Indonesia yang bernalar sebagai salah satu ciri warga negara Indonesia unggul. Tentunya tidaklah elok mengesampingkan estetika. Bingkai besar dari Trimatra Pendidikan adalah kebudayaan dimana estetika sudah masuk di dalamnya,” tegas Pontjo.

Sementara itu, Wakil Ketua Tim Perumus dan Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas, Bambang Pharmasetiawan mengatakan, dalam naskah akademik telah memuat pula tentang hal dalammenyusun mata pelajaran yang kurikulum intinya adalah Agama-Kebangsaan-Etika-Logika.Padamata pelajaran dan mata kuliah yang dibuat dan ditambahkan hendaknya mengacu pada definisi nilai final dan nilai instrumental.

“Nilai final adalah apa-apa yang ditujukan sebagai tujuan pendidikan. Biasanya ditetapkan oleh sebuah keputusan politik atau konsensus para cerdik cendekia. Sedangkan nilai instrumental adalah sebuah disiplin akademik yang diajarkan guna mewujudkan nilai final tersebut. Dengan mengacu pada kaidah nilai final dan nilai instrumental maka momok bahwa murid-murid Indonesia terlalu banyak mata pelajarannya (dan bukunya) dapat dihindari dan disederhanakan. Ini adalah dasar untuk menyederhanakan mata pelajaran, semua dikembalikan pada asalnya. Jika dia adalah mata pelajaran untuk psikomotorik jangan diperlakukan sebagai kognitif, ujungannya ikut-ikutan menghafal, padahal seharusnya melatih raga (dapat mengurangi jumlah buku siswa yang dimiliki/dibawa). Penyederhanaan dapat mulai dilakukan sekarang dengan mengambil momen kondisi pendidikan saat ini di tengah pandemi sehingga dilakukan melalui daring/on-line (PJJ),” ujarnya.

Sedangkan, CEO Nusantara Center Yudi Haryono, selaku Ketua Tim Perumus dan Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas, menegaskan bahwa kita harus menghasilkan warganegara unggul via metoda meta science yang berenergi mental Pancasila, sesuai yang termuat dalam naskah akademik tersebut. Definisi warga negara unggul yang merupakan gabungan antara kata warganegara dan kata unggul maknanya adalah “patriot sejati Indonesia yang takwa, ikhlas, berperikemanusiaan, adil, beradab, jujur, bertanggung jawab, mumpuni, ulet dan tangguh.” Ujungnya, mereka punya knowledge (know what), attitude (know why) and skills (know how). 

“Dengan demikian seorang warganegara unggul tidak saja memiliki kecerdasan dan nalar yang baik (Logika), namun juga memiliki sikap sosial yang baik (Etika) dan nasionalisme yang tidak diragukan lagi (Kebangsaan), inilah keterkaitan Trimatra Pendidikan dengan warganegara unggul,” tambahnya. (ANP)