Etika Mengumumkan Hasil Penelitian Kesehatan di Masa Pandemi COVID-19

Mus • Saturday, 8 Aug 2020 - 16:16 WIB

Jakarta – Prof. Ali Ghufron Mukti, Plt. Staf Ahli Menteri Bidang Infrastruktur yang juga sebagai Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 menjelaskan pentingnya pemerintah menjamin perlindungan dan keselamatan orang sakit yang menjadi subyek percobaan suatu penelitian uji klinik atau yang disebut dengan Etika Penelitian Kesehatan (EPK) dalam dialog di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Jakarta, Kamis (6/8).

“Di Indonesia, Lembaga Etik tersebut antara lain diatur melalui Kepmenkes No. 240 tahun 2016 tentang Komisi Etika Penelitian Kesehatan,” jelas Prof. Ghufron. 

Semua penelitian kesehatan yang menggunakan manusia sebagai subyek penelitian dan menyangkut obat juga sediaan farmasi harus memiliki izin dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK).

"Tanpa persetujuan etik (ethical approval) dari KEPK, penelitian uji klinik tidak boleh dimulai,” terang Prof. Ghufron lebih lanjut.

Suatu penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subyek dapat diterima secara etika apabila penelitian yang dilakukan berdasarkan metode ilmiah yang valid, menghargai martabat subyek sebagai manusia, menjamin kerahasiaan dan bila terjadi sesuatu. Penelitian yang tidak memenuhi prosedur yg benar secara ilmiah mengakibatkan peserta penelitian atau komunitasnya mendapat risiko kerugian atau bahkan dapat dipertanyakan manfaatnya.

“Sebagai peneliti yang etis, bukan saja wajib menghargai kesediaan dan pengorbanan manusia tetapi juga menghormati dan melindungi kehidupan, kesehatan, keleluasaan pribadi ( privacy), dan martabat (dignity) subyek penelitian. Pelaksanaan kewajiban moral (moral obligations) adalah inti etik penelitian kesehatan,” tegas Prof. Ghufron.

Dengan maraknya klaim penemuan obat COVID-19 yang diumumkan melalui media/pers ataupun wawancara, Prof. Ghufron menjelaskan apabila sebuah penelitian yang belum memiliki ethical clearance tiba-tiba diklaim sebagai obat yang mujarab, bahkan juga tidak melalui uji klinis maka klaim terhadap hasil penelitian tersebut dapat menjadi permasalahan. Obat jika tidak tepat bisa berubah menjadi racun untuk dosis atau individu yang tidak tepat. 

Hasil penelitian kesehatan yang menyangkut obat, vaksin, maupun sediaan farmasi sebaiknya dipublikasi di jurnal atau publikasi ilmiah berkala yang dibaca para profesional setara, atau disampaikan atau dipresentasikan pada pertemuan ilmiah yang dihadiri profesional setara. Barulah setelah diterbitkan dalam jurnal atau media publikasi ilmiah dapat disampaikan kepada masyarakat luas.

"Adalah kurang tepat apabila hasil uji klinik disampaikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas tanpa mengikuti protokol penelitian kesehatan yang standar seperti mendapatkan ethical clearance," pungkas Prof. Ghufron sekaligus menutup wawancaranya dengan Satuan Tugas Penanganan COVID-19. (Mus)