Aher Usulkan Pelibatan Perguruan Tinggi dalam Membangun Sistem Pertahanan Non Konvensional

Mus • Tuesday, 14 Jul 2020 - 19:26 WIB

Jakarta - Sebagai Gubernur Jawa Barat dari tahun 2008 hingga 2018, Ahmad Heryawan pernah menemukan kasus adanya penyelundupan manusia ke pantai Jawa Barat yang gagal dicegah keamanan laut. Uniknya, orang asing yang masuk sebagai pengungsi malah disambut dengan gembira oleh para nelayan di pesisir utara Jawa Barat.

“Mereka mengira kedatangan turis manca negara. Padahal yang datang pengungsi dari Timur Tengah,” ujar Kang Aher, sapaan akrab Ahmad Heryawan. Hal ini disampaikan Kang Aher ketika memberi tanggapan dalam sesi Seminar Online “Membangun Industri Pertahanan 4.0” yang diselenggarakan The Indonesia Democracy Institute (TIDI) pada Hari Senin (13/7).

Dalam kesempatan itu Kang Aher tak lupa mengapresiasi agenda reformasi militer yang menurutnya cukup berhasil. Keberhasilan ini menurut Aher perlu dilanjutkan dengan upaya melakukan pembenahan pertahanan, khususnya kelengkapan alusista dan persediaan personil yang memadai.

“Wilayah laut kita sangat luas. Sulit sekali dijaga dengan kesediaan personil saat ini," terang Aher. Keterbatasan ini membuat wilayah teritori Indonesia sangat rentang disusupi penyelundupan, baik manusia maupun barang terlarang serta pencurian kekayaan laut Indonesia. Aher kemudian menanyakan kepada narasumber strategi dalam menyeimbangkan jumlah personil terbatas dengan luas wilayah yang harus dijaga.

“Dengan keterbatasan jumlah personil yang ada, pelibatan perguruan tinggi dalam mengembangkan teknologi pertahanan yang murah, efisien dan efektif dalam menjaga teritori wilayah perlu dilakukan secara lebih serius. Misal dengan mengembangkan teknologi artificial intelligence dan surveillance," tambahnya. 

Evan Laksmana, peneliti CSIS, mengakui bahwa saat ini antara alusista konvensional dan non konvensional sudah sulit untuk dipisahkan. Keduanya dibutuhkan dalam pertahanan di era saat ini. “Kita perlu sistem pertahanan yang dapat mendeploy keduanya secara tepat," ujar Evan. 

Evan menambahkan bahwa pengembangan teknologi pertahanan membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Perlu ada upaya melakukan riset dalam waktu yang lama serta kerjasama berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi. "Ketika produk sudah berhasil diciptakan melalui riset, maka harus ada komitmen negara mengalokasikan anggaran pertahanan untuk membeli teknologi tersebut," ucapnya. (Jak)