Menteri Bintang: Kasus Viral Penculikan di Sumba Harus Dihentikan dan Tidak Boleh Terulang

ANP • Wednesday, 8 Jul 2020 - 21:57 WIB

Waingapu – Kasus penculikan terhadap perempuan di Sumba yang viral di media sosial dan dipersepsikan sebagian orang sebagai kawin tangkap menimbulkan banyak pertanyaan, apakah kasus yang merampas hak dan merugikan perempuan tersebut benar merupakan bagian dari nilai budaya Sumba? Menyikapi hal tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga melakukan kunjungan kerja ke Sumba guna mendengar secara langsung terkait hal tersebut dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, penyintas, pendamping, dan pemerintah daerah.

“Kehadiran saya di sini adalah untuk mendengarkan secara langsung dari tokoh-tokoh terkait, mulai dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, penyintas, pendamping, dan pemerintah daerah yang memahami nilai budaya Sumba. Kami ingin bersama-sama mencari solusi atau upaya terbaik untuk menghentikan segala bentuk tindakan kekerasan yang merugikan perempuan dan anak, termasuk kasus penculikan di Pulau Sumba yang saat ini tengah viral di media sosial. Upaya ini akan kita awali dengan komitmen dalam penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba,” ujar Menteri Bintang. 

Menteri Bintang menuturkan kasus penculikan merupakan salah satu bentuk kejahatan dan pelecehan terhadap adat perkawinan yang sakral dan mulia. Perlu ada langkah konkret untuk menghentikan agar hal serupa tidak terulang lagi. Strategi utama untuk melawan konstruksi sosial yang merugikan perempuan dan anak adalah dengan memahami dan mempelajari budaya setempat serta memberikan pemahaman mengenai hak-hak perempuan dan anak. Dengan lebih memahami budaya dan kearifan-kearifan lokal terkait pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, strategi yang dibangun akan lebih tajam, terarah, dan berjangka panjang. Untuk itu, dibutuhkan sinergi dan kerjasama yang baik dari semua pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, akademisi, tokoh adat, dan tokoh agama di tingkat pusat maupun daerah.

Dalam pertemuan hari ini, kehadiran tokoh adat membuat suasana pertemuan menjadi hangat dan kekeluargaan serta berbobot. Dalam uraiannya yang penuh semangat, diwarnai dengan pepatah, uraian rinci tentang prosesi perkawinan adat, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, tokoh-tokoh adat menguraikan betapa masyarakat Sumba sangat memuliakan kaum perempuan. Mereka secara tegas menolak membawa lari perempuan untuk dinikahi atau yang dipersepsikan sebagai kawin tangkap dianggap sebagai wujud nilai-nilai adat dan budaya Sumba.

Pertemuan ini dilaksanakan dengan tujuan mendengarkan pandangan beraneka segi tentang perkawinan adat Sumba, Menteri Bintang juga mendengarkan kesaksian dari salah satu penyintas yang berhasil melepaskan diri dari rumah pihak laki-laki setelah sebelumnya ditangkap dan disekap di rumah laki-laki yang akan mengawininya. Pada akhir pertemuan, Menteri Bintang menyaksikan seluruh komponen masyarakat dan pimpinan daerah Kabupaten Sedaratan Sumba serta Wakil Gubernur NTT menandatangani nota kesepahaman “Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba”. 

“Penandatanganan nota kesepahaman Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba bukan hasil akhir pertemuan ini,  melainkan menjadi awal dari rencana aksi yang akan dilakukan ke depan melalui kerjasama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah,” harap Menteri Bintang.

Sementara itu, Komisi Anak Sinode Gereja Kristen Sumba, Pendeta Yuli menegaskan pada prinsipnya sesuai dengan nilai-nilai warisan leluhur masyarakat Sumba, kami sangat menjunjung dan menghargai perempuan Sumba. “Saya sangat menyayangkan anggapan kawin tangkap sebagai budaya Sumba setelah viral video penangkapan perempuan secara paksa lalu mulai dibilang bahwa itu adalah kawin tangkap. Seolah-olah istilah kawin tangkap adalah kosakata baku yang berkaitan dengan budaya Sumba,’’ ungkap Pendeta Yuli.

“Pada dahulu kala memang ada budaya sumba yang disebut Plaingidi, akan tetapi ada ikatan antara kedua belah pihak sehingga mereka dijodohkan dan kemudian melaksanakan perkawinan. Jadi saya tegaskan, bahwa orang sumba sendiri tidak mengenal kawin tangkap. Kemudian, ada beberapa hal yang menjadi catatan perhatian kita, diantaranya perlu ada pemahaman yang utuh tentang budaya perkawinan di sumba termasuk unsur yang terkait dengan budaya tersebut, perlu dilakukan pengkajian pemakaian pemahaman istilah, dan tidak lagi memakai istilah kawin tangkap karena merupakan bentuk pelanggaran budaya perkawinan orang sumba sebab mengandung kekerasan fisik,” tambah Pendeta Yuli 

Lebih lanjut, Tokoh Adat Sumba Tengah, Andreas mengungkapkan pada 30 Juni 2020 tokoh adat dan tokoh agama di Kabupaten Sumba Tengah mengadakan pertemuan dan sepakat untuk dengan tegas menolak istilah kawin tangkap. “Kami hanya mengenal istilah Plaingidi dalam budaya sumba, itupun dilakukan dengan tetap menghargai dan menjunjung tinggi martabat perempuan dalam hal perkawinan. Leluhur Sumba mewariskan budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban, terutama menghargai perempuan dan seorang ibu. Istilah yang disebutkan kawin tangkap sebagai bagian dari budaya sumba dirasa sangat tidak pas, karena budaya sumba dengan jelas menempatkan harkat dan martabat perempuan sumba,” ungkap Andreas. 

Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, Josef Nae mengatakan kasus penculikan yang terkena degradasi dan tersebar melalui media sosial sehingga tersebar ke seluruh Indonesia bukan merupakan nilai budaya Sumba. “Kami akan merumuskan suatu konsiderasi bersama dengan para Bupati Sedaratan Sumba, tokoh adat Sumba, tokoh agama, kepolisian, dan masyarakat Sumba untuk mengembalikan nilai budaya Sumba yang tercoreng akibat kasus penculikan yang berkedok budaya Sumba. Kami orang Sumba menyakini betul bahwa nenek moyang kami mewarisi nilai budaya yang memuliakan dan melindungi perempuan. Oleh karena itu, kami tidak setuju dengan kasus penculikan yang dianggap sebagai bagian dari nilai budaya Sumba,” ujar Josef Nae.

Kesepakatan bersama dalam pertemuan ini ialah memandang peristiwa semacam itu jelas sebuah tindakan kejahatan bukan praktik kawin adat. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum harus mengambil tindakan tegas, terutama bila korban masih usia anak. Unsur Kepolisian Sumba Timur yang juga hadir menegaskan bahwa pasal kejahatan tentang tindakan tersebut sudah jelas dan akan segera bertindak bila ada pengaduan tentang tindakan bawa lari tersebut.

Menteri Bintang berharap agar dari kesepakatan bersama dalam pertemuan tersebut dapat memperkuat komitmen perlindungan terhadap perempuan dan anak dari ancaman tindakan bawa lari serta menegaskan pentingnya menjaga nilai-nilai yang memuliakan perempuan dalam adat Sumba. Menteri Bintang juga meminta agar seluruh Kabupaten Sedaratan Sumba segera membentuk P2TP2A sebagai wujud komitmen daerah.

Hadir pula dalam pertemuan tersebut Bupati Kabupaten Sumba Tengah, Paul Kira Limu, Bupati Kabupaten Sumba Barat, Agustinus Niga Dapawole, dan Bupati Kabupaten Sumba Barat Daya, Kornelius Kodi Mete untuk menandatangani nota kesepahaman “Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba” antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba. (ANP)