NAMARIN : Jangan Sampai TSS Menjadi Euforia

FAZ • Saturday, 20 Jun 2020 - 07:24 WIB

Jakarta–Traffic Seperation Scheme (TSS) atau bagan pemisahan alur laut di Selat Sunda dan Lombok resmi diberlakukan secara penuh pada 1 Juli 2020 mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara kepulauan (archipelagic state) pertama di dunia yang memiliki TSS di alur laut kepulauannya setelah proposalnya disetujui disetujui dalam forum International Maritime Organization, Maritime Safety Committee (MSC) ke 101 yang berlangsung di Markas Besar IMO, London, Inggris, beberapa waktu lalu.

Hampir dua tahun Indonesia berjuang meyakinkan anggota IMO untuk menyetujui proposal TSS yang diajukan. Keberhasilan ini menjadi bukti keseriusan Indonesia untuk berperan aktif di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dunia serta perlindungan lingkungan maritim khususnya di wilayah perairan Indonesia.

Tentu saja keputusan itu mendapat sambutan yang meriah di dalam negeri. Dengan penuh optimisme, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan terus berbenah dalam menyiapkan segala hal untuk pelaksanaan TSS tersebut.

Terkesan ada euforia dalam persiapan pemberlakuan TSS. Pasalnya, kesiapan sarana dan prasarana di kedua selat strategis belum sepenuhnya rampung jika tidak hendak disebut cekak sama sekali.

“Jangan euforia dulu soal TSS. Waspadai nanti kalau sudah berjalan kemudian ada kecelakaan sementara sarana dan prasarana kita belum memadai, kita bisa malu di dunia internasional,” ungkap Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, Jumat (19/6).

Siswanto mengungkapkan lebih lanjut, sejauh ini institusi yang berwenang penuh dalam hal penegakan aturan keselamatan dan keamanan di laut masih mendua. Ada dua institusi yang mengklaim sebagai Indonesia Coast Guard yang resmi yakni Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP). Sayang, keduanya belum siap sepenuhnya menyambut TSS.

“Jadi, soal tanggung jawab keamanan dan keselamatan maritim itu siapa? Jangan sampai nanti ada ketidaksinkronan dan jangan sampai ini dipertontonkan di dunia internasional.”

Maka dari itu, ia meminta kepada pemerintah untuk menyiapkan aspek manajerial itu dengan baik. Begitu juga dengan sarana dan prasarana pendukungnya.

Menurutnya, ship reporting system menjadi bagian terpenting dalam menopang keselamatan pelayaran di daerah choke points dunia tersebut.

“Saya melihat ship reporting system ini penting. Masalahnya, siapa yang akan menjadi leading agency-nya? Jadi jangan nanti pas ada kejadian pada lepas tangan dan saling menyalahkan,” imbuhnya.

Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan seperti pemenuhan Vessel Traffic Services (VTS), Stasiun Radio Pantai (SROP), Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), SDM Pengelola Stasiun VTS, serta peta elektronik yang terkini dan menjamin operasional dari perangkat-perangkat penunjang keselamatan pelayaran tersebut selama 24 jam 7 hari.

Dalam beberapa kesempatan, Dirjen Hubla Agus Purnomo menyatakan pihaknya telah mempersiapkan segala hal menjelang pemeberlakuan TSS tersebut. Mulai dari patroli kapal KPLP hingga sarana kenavigasian yang mampu beroperasi 24 jam. Sayangnya, persiapan prasarana tersebut tidak mendapat perhatian penuh.