Penurunan Muka Tanah di Pesisir Pekalongan Sekitar 20 cm Pertahun, Tanggul Bukan Solusi Utama

Mus • Friday, 19 Jun 2020 - 14:44 WIB

Pekalongan - Faktor utama pemicu rob, di wilayah pesisir Pekalongan yakni landsubsidence (penurunan muka tanah).  Hal ini disebabkan oleh pengambilan air muka tanah yang tidak terkendali. Landsubsidence yang terjadi di Pekalongan diperkirakan yang terbesar, karena adanya pembangunan hotel, rumah sakit, dan kantor yang masih menggunakan sumur bor dan pamsimas. Sementara Air PDAM belum bisa memenuhi kebutuhan air bersih, terutama di perkantoran dan hotel–hotel.

Di sisi lain, akademisi menilai pembangunan tanggul penahan rob bukan solusi utama untuk mengatasi rob di pesisir Pekalongan. Diungkapkan, penurunan muka tanah di pesisir Pekalongan cukup tinggi, yakni sekitar 20 cm pertahun. Demikian dikatakan Dr Heri Andreas, peneliti dari ITB saat Workshop virtual Rembug Warga Penanganan Rob Pekalongan Pasca Pembangunan Tanggul melalui, Kamis (18/6/2020).

Workshop ini diselenggarakan Forum Komunitas Peduli Rob Pekalongan bekerjasama dengan Fakultas Teknik Unikal dan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W-LPPM) IPB University. Heri Andreas memaparkan, dengan permodelan, pada tahun 2020 ini sekitar 7.771 rumah terdampak banjir rob, dan diperkirakan 29.808 rumah akan terdampak pada dekade mendatang.

“Saat ini panjang jalan terdampak rob untuk kategori lokal primer sepanjang 23.912 km, sementara untuk lokal sekunder sepanjang 37.327 km,” terang dia. Potensi kerugian ekonomi saat ini diperkirakan mencapai Rp 3,7 triliun, dan ia memperkirakan dapat mencapai Rp 8,5 triliun pada dekade mendatang.

Heri menyebutkan, penanganan rob di Jakarta dengan tanggul yang dibangun cukup tinggi dan kuat, namun air laut tetap bisa melintasinya. Bahkan, di beberapa titik tanggul bocor dan jebol.

“Di Pekalongan akan terlihat masalah yang sama dengan di Jakarta. Pada proses pembangunannya saja land subsidence sudah ada sehingga tanggul ditinggikan lagi. Ada kebocoran juga,” kata dia.

Oleh karena itu, kata dia, urusan tanggul belum selesai, karena tanggul mengalami land subsidence juga, sehingga air laut bisa melewati tanggul (overtopping). Selain itu, potensi tanggul bocor dan jebol bisa terjadi. “Kesimpulannya tanggul bukan solusi utama. Land subsidence harus dikendalikan. Land subsidence ini faktor utamanya karena eksploitasi air tanah berlebihan,” tambahnya.

Lalu Apakah land subsidence bisa dikendalikan? “Hal ini bisa dilihat di beberapa negara,” Lanjut Heri. Upaya alternatif lainnya untuk mengatasi rob bisa dengan merelokasi warga terdampak banjir. Namun ia memperkirakan untuk relokasi butuh anggaran Rp 20 triliun. Reklamasi lahan pun bisa dilakukan untuk alternatif jangka panjang. Heri juga mendorong agar dibentuk satuan gugus tugas untuk menangani rob di wilayah pesisir Pekalongan. Satuan tugas ini dibawah Pemprov Jateng.

Workshop juga diikuti oleh Bupati Pekalongan Asip Kholbihi, Arif Satria, S.P, M.Si, (Rektor IPB), Asrul Sani (FPPP-DPR RI), Suryani (Rektor UNIKAL), Bisri Romly (DPR RI-FPKB),  Ruhban Ruzziyatno (Kepala BBWS Pemali Juana), Afzan Arslan Djunaid (Wakil Walikota Pekalongan) dan beberapa tokoh yang peduli dengan bencana rob di pesisir Pekalongan. (Den)