Soal Nasib RUU HIP, HNW: Baleg DPR RI Harus Pertimbangkan Penolakan Publik

Mus • Tuesday, 16 Jun 2020 - 13:59 WIB

Jakarta - Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid menyebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR memicu kontroversi karena disikapi secara kritis, bahkan ditolak berbagai kelompok masyarakat.

Wakil Ketua MPR RI ini juga mengatakan, saat rapat Baleg Fraksi PKS telah meminta agar TAP MPRS no. XXV/1966 dimasukkan dalam konsideran. Tuntutan PKS agar pasal yang menyebut trisila, ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan dan lainnya dicabut, ternyata tidak diakomodasi. 

"Sehingga saat di Rapat Paripurna PKS dengan tegas menyatakan menolak dengan catatan terhadap RUU HIP tersebut," tegas pria yang akrab disapa HNW ini.

Belakangan, lanjut HNW, memang PDIP selaku pengusul awal RUU itu akhirnya berubah dan setuju memasukkan TAP MPRS No XXV/1996 yang mengatur larangan komunisme sebagai konsiderans dan menghapus Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) yang memunculkan kembali istilah Pancasila Trisila, Ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan. 

"Dengan akhirnya PDIP berubah dan setuju dimasukkannya TAP MPRS No XXV/1966 soal PKI sebagai Partai terlarang dan larangan penyebaran dan pengajaran komunisme ke dalam konsideran," pungkas HNW.

Mengingat RUU HIP, katanya, maka semua Fraksi di DPR secara terbuka sepakat untuk masih tetap berlakunya ketentuan hukum bahwa PKI adalah  partai terlarang, dan juga larangan penyebaran dan pengajaran komunisme, marxisme dan leninisme. 

"Dan dengan PDIP menerima masuknya TAP MPRS noXXV/1966 dalam konsideran RUU HIP, maka tidak ada lagi fraksi di DPR yang menolak dimasukkannya TAP MPRS no XXV/1966 ke dalam RUU HIP," paparnya.

Tetapi, kata HNW, publik sudah menyikapi sangat kritis terhadap RUU HIP ini, bukan lagi hanya soal tak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS no XXV/1966, juga 'kecolongan' penyebutan trisila dan ekasila.

"Namun masalah-masalah dalam RUU HIP ini mereka dapatkan tersebar di beberapa pasal, yakni seperti yang ada Pasal 4, 5, 6 dan 8 RUU itu,” tukasnya dalam siaran pers di Jakarta, Senin (15/06/2020). 

Hidayat yang akrab disapa HNW menuturkan bahwa kepada Baleg DPR RI harus memperhatikan suara Rakyat ini. Sehingga kalaupun RUU HIP itu tetap akan dibahas maka perlu ada perombakan yang mendasar dalam batang tubuh maupun naskah akademiknya. 

“Larangan Komunisme serta Pancasila yang bukan Trisila atau Ekasila itu seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsiderans, tetapi juga benar-benar tergambar dalam norma batang tubuh RUU itu,” ujarnya. 

Menurut HNW, hal ini sejalan dengan penolakan atau kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Purnawirawan TNI/Polri dan berbagai Ormas atau kelompok-kelompok masyarakat yang menolak RUU itu. 

“Selain MUI, NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, para Pakar, ICMI, bahkan Purnawirawan TNI/Polri dan kelompok-kelompok masyarakat lain juga menolak secara terbuka RUU HIP ini, antara lain karena tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS no XXV/1966," terangnya. 

TAP MPRS yang masih berlaku, katanya, sangat relevan dan diyakini akan membentengi Pancasila dari ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan sudah dua kali melakukan pemberontakan terhadap Negara Indonesia. Serta adanya pengaburan dengan penyebutan Pancasila yang menjadi Trisila dan Ekasila. 

"Juga catatan kritis lainnya yang menilai bahwa RUU HIP seperti ini justru mendowngrade Pancasila yang sebenarnya, yaitu Pancasila 18/8/1945 yang ada dlm Pembukaan UUD NRI 1945. Itu semua penting didengarkan dan dipertimbangkan oleh Baleg DPR RI”. tegasnya. 

Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai bahwa ketika FPDIP sebagai pengusul awal RUU tersebut berubah sikap dengan menerima TAP MPRS XXV/1966 dan mengusulkan ideologi-ideologi lainnya, serta penghapusan pasal 7 soal Trisila dan Ekasila, maka rasionalnya, naskah akademik dan draft RUU ini juga perlu dibuat ulang, dan diubah secara mendasar. 

"Karena adanya perubahan yang mendasar pada konsideransnya, yang tentunya juga berimplikasi kepada landasan yuridis dan landasan sosiologis akibat reaksi penolakan dari banyak pihak, maka sebaiknya RUU HIP ini ditarik terlebih dahulu oleh Baleg dan tidak dilanjutkan pembahasannya. Untuk disiapkan naskah akademik dan diperbaiki kontennya sesuai dengan kebenaran sejarah dan sesuai juga dengan kritik dan saran dari Rakyat, Pakar, Purnawirawan TNI/Polri, Ormas dan lainnya,” imbuhnya. 

HNW menjelaskan dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan penolakan masyarakat, saat Baleg merevisi naskah akademik ini, maka pengusul dari Baleg juga dapat mempertimbangkan ulang apakah RUU ini memang perlu dipaksakan untuk dilanjutkan dibahas dan disahkan, atau malah dihentikan saja. 

"Toh penjabaran dan haluan ideologi Pancasila sudah disepakati dan itu ada dalam Pembukaan UUD dan dalam Bab/pasal/ayat-ayat UUD NRI 1945," pungkasnya.

HNW kembali mengingatkan ada problem ketatanegaraan apabila RUU HIP ini dipaksakan untuk dilanjutkan dan  disahkan. 

“Pancasila adalah groundnorm (norma dasar) yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Nilainya sebagai norma dasar memang bersifat umum tapi yang disepakati oleh para Founding Fathers kita," tandasnya.

HNW menyampaikan bahwa Janganlah Pancasila didowngrade melalui UU kontroversial seperti ini. Tetapi apabila mau dibuat penjabaran lagi, maka seharusnya dilakukan di Batang Tubuh UUD 1945, melalui amandemen lagi terhadap UUD, bukan diatur dalam UU apalagi yang kontroversial seperti RUU HIP ini.

"Jadi, contohnya, apabila ingin mengatur atau menjabarkan lebih lanjut ekonomi Pancasila, maka seharusnya ketentuan dalam pasal 33 itu dielaborasi ke pasal 33A, pasal 33B dan seterusnya,” ujarnya. 

Apabila nilai-nilai Pancasila itu diatur dalam UU khusus seperti RUU HIP, kata HNW, maka bagaimana bila nanti UU itu diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

"Jadi, ini seakan lompat, dari Pancasila dalam pembukaan ke pengaturan dalam UU. Itulah mengapa masyarakat  menolak RUU HIP ini, yang selain kesannya melompat dari Pembukaan ke UU dengan melangkahi UUD,  RUU HIP ini malah menambah kegaduhan publik, disaat rakyat dan pemerintah lagi sangat direpotkan dengan bencana kesehatan nasional covid-19. Mestinya yang hadir adalah ketentuan UU yang kuatkan pengamalan Pancasila, agar berkontribusi atasi covid-19 dan dampak-dampaknya," pungkas HNW.