Lakpesdam PBNU Menyebut RUU Haluan Ideologi Pancasila Tidak Urgen

FAZ • Thursday, 11 Jun 2020 - 21:59 WIB

Jakarta - Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad berpendapat Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tidak memiliki urgensinya. 

“Setelah membaca Naskah Akademik (NA) dan draf RUU HIP yang beredar, saya tidak melihat urgensi RUU ini,” katanya di Jakarta, Kamis, (11/6)

Menurut dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini sejumlah masalah yang dijadikan argumentasi RUU HIP ini kurang valid, karena itu tentunya bukan RUU HIP yang menjadi jawabannya. 

“Misalnya, dalam naskah akademik RUU HIP disebutkan adanya masalah pengambilan kebijakan penyelenggara negara masih berjalan sendiri-sendiri antar lembaga tanpa adanya pedoman dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap pengambilan keputusan,” ungkapnya. 

Asumsi tersebut, kata dia, bisa saja sebagian benar, tapi persoalan kebijakan penyelenggara yang diasumsikan berjalan sendiri-sendiri itu bukan sama sekali karena tidak adanya UU HIP. Jadi bukan UU HIP yang menjadi jawaban.

Menurut Rumadi, undang-undang yang terkait Pancasila sebagai ideologi negara sudah ada. Konstitusi dan sejumlah UU yang mengharuskan Pancasila sudah cukup. BPIP dengan kekuatan yang besar dan anggaran yang semakin besar juga sudah. RPJMN 2020-2024 yang mengarahkan pembangunan untuk menguatkan Pancasila juga sudah ada. 

“Bahkan dalam RPJMN ini BPIP diberi tanggung jawab besar untuk mengawal implementasi Pancasila. Tinggal melaksanakan dan mewujudkan apa yang ada dalam RPJMN. Jadi, saya melihat urgensinya, RUU ini tidak urgen sama sekali,” tegasnya. 

Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa RUU HIP ini justru membuka kembali peluang adanya konflik ideologi yang pasti akan menyita energi bangsa.

“RUU ini bisa dipastikan akan menyulut perdebatan ideologis yang menguras energi. Bisa seperti dalam Sidang Konstituante tahun 1959 yang berakhir dengan Dekrit Presiden,” katanya. 

Kalangan liberal, menurutnya, melihat RUU seperti UU yang menghalalkan fasisme negara; bagi kelompok islamis RUU ini dilihat sebagai upaya "menyingkirkan agama". Bahkan sebagian sudah ada yang mulai teriak: RUU ini memberi ruang untuk komunisme. 

“Bagi NU yang sudah terbukti konsisten mengawal ideologi Pancasila, tidak ingin bangsa ini kembali gaduh pada masalah yang sebenarnya tidak perlu. RUU HIP ini seperti tahsilul hasil, membicarakan sesuatu yang sudah tidak perlu lagi,” jelasnya. 

Rumadi tidak terlalu mempersoalkan tentang pencantuman TAP MPRS XXV/1966, meski memahami orang yang curiga dengan tidak adanya TAP ini. TAP XXV ini sifatnya beschikking yang sudah selesai dilaksanakan dengan pembubaran PKI.  

“Tapi saya bisa memahami jika ada sebagian yang menaruh curiga dengan tidak adanya TAP ini sebagai pertimbangan. Saya justru melihat RUU ini seolah ingin menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup dan membuka peluang monopoli tafsir Pancasila seperti yang dilakukan Orde Baru, tapi dalam bentuk yang lain,” pungkasnya.