Hadapi Iklim Ekstrem, BMKG Gelar Sekolah Lapang Iklim Bagi Petani di Jateng

FAZ • Sunday, 7 Jun 2020 - 08:17 WIB

TEMANGGUNG - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menggelar Sekolah Lapang Iklim atau SLI secara virtual di Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (6/6). Kegiatan tersebut digelar sebagai langkah antisipatif menghadapi iklim ekstrem ditengah pandemi COVID-19.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan dampak iklim ekstrem sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian karena akan mengakibatkan penurunan produksi secara kuantitas maupun kualitas.

Selain itu, berkembangnya hama penyakit disebabkan tidak sesuainya pola tanam dengan kondisi iklim yang kemudian mengancam kualitas produksi hingga gagal panen. Risiko gagal panen yang dialami petani ini tentu saja akan berdampak luas pada sistem ketahanan pangan nasional.

“Petani dan penyuluh pertanian perlu dibekali dan mendapat sosialisasi secara massif tentang iklim. Dengan adanya pemahaman tersebut, selain produksi yang dihasilkan semakin meningkat, informasi dari BMKG dapat dimanfaatkan secara maksimal guna mendukung sektor pertanian,” ungkap Dwikorita.

Dwikorita memaparkan, petani dan penyuluh pertanian dibekali sejumlah materi pengetahuan. Diantaranya pengenalan unsur cuaca, alat ukur cuaca dan penakar hujan sederhana, pemahaman informasi dan prakiraan iklim/musim, proses pembentukan hujan, pemahaman iklim/iklim ekstrem hingga materi tentang pengaruh cuaca atau iklim terhadap hama dan penyakit pada tanaman.

Dwikorita mengatakan, penyampaian materi dan konsultasi dilakukan secara virtual dengan bahasa sederhana agar mudah dimengerti oleh petani dan penyuluh pertanian. Metode pembelajaran jarak jauh ini dilaksanakan sebagai langkah pemutusan mata rantai penyebaran COVID-19, tanpa menghilangkan substansi pokok dalam SLI.


Menurut Dwikorita, dengan memahami informasi iklim produktivitas pertanian bisa meningkat hingga 30 persen. Jika dulu, kata Dwikorita petani secara tradisional bisa berpatokan pada hari dan bulan, maka sekarang harus berpatokan dengan data, yaitu pola curah hujan tiap wilayah.

Lebih lanjut, Dwikorita mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo beberapa waktu lalu mendorong petani untuk melakukan percepatan musim tanam pada Tahun 2020.

Instruksi tersebut, kata dia, bukan tanpa alasan mengingat BMKG sendiri telah memprediksi bahwa puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus, sementara curah hujan diperkirakan masih berlangsung hingga Juni. Percepatan tersebut guna mengantisipasi terjadinya krisis pangan.

“30% wilayah di Indonesia yang memasuki zona musim akan mengalami kemarau lebih kering dari biasanya. Percepatan musim tanam ini dilakukan dengan memanfaatkan sisa curah hujan sebelum memasuki kemarau panjang,” imbuhnya.

Dwikorita berharap, dengan terselenggaranya kegiatan ini secara rutin dari tahun ke tahun diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap informasi kehidupan yang berkaitan dengan iklim, sehingga dampak negatif berupa gagal panen atau penurunan produktivitas petani dapat dihindari.

Sementara itu, dalam sambutannya melalui video conference Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mendorong petani untuk memanfaatkan sistem informasi yang dikeluarkan BMKG guna meningkatkan produktivitas dan hasil pertanian.