Wacana Pelonggaran PSBB, Tanda Pemerintah Menyerah Atasi Covid-19?

Mus • Monday, 18 May 2020 - 18:30 WIB

Jakarta - Wacana pelonggaran PSBB juga penyesuaian hidup berdampingan dengan virus corona dinyatakan Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan, termasuk pada hari Jumat (15/5/2020) di Istana Merdeka. Namun menurut Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta, wacana tersebut tidak ada urgensinya disampaikan. Karena sejak awal rakyat Indonesia sudah dibiarkan hidup berdampingan dengan virus corona, lewat berbagai wacana pemerintah yang tidak menentu arahnya.

"Bagaimana masyarakat akan disiplin dengan kebijakan pemerintah jika wacana yang muncul malah membingungkan. Saya kutip pernyataan Pak Presiden hari ini (18/5/2020) melalui siaran akun YouTube Sekretariat Presiden, 'Saya tegaskan belum ada kebijakan pelonggaran PSBB. Karena muncul, keliru di masyarakat bahwa pemerintah mulai melonggarkan PSBB. Belum. Belum ada kebijakan pelonggaran'. Pernyataan Pak Presiden tersebut seakan menyalahkan masyarakat yang dianggap keliru pahami wacana-wacana pemerintah. Mestinya yang distop adalah wacana-wacana pemerintah, termasuk wacana Presiden di beberapa kesempatan yang kemudian malah jadi bahan olok-olok di media sosial. Kan kasihan pak Presiden, pernyataan yang beliau sampaikan akhirnya dianggap sebagai lelucon di kala pandemi. Jadi jangan salahkan masyarakat jika wacana-wacana pelonggaran ini dianggap sebagai tanda pemerintah menyerah dalam menangani Covid-19," kata Sukamta lewat pesan tertulisnya kepada media, Jumat (18/5/2020).

Sukamta mengatakan, jika kebijakan yang dibuat merupakan hasil kajian yang mendalam, pemerintah mesti secara sungguh-sungguh melaksanakannya dan kemudian dievaluasi secara berkala.

"Ini kan akhirnya terkesan pemerintah buat kebijakan PSBB, daerah berusaha laksanakan dengan sungguh-sungguh tetapi malah pemerintah sendiri yang mengingkari dengan wacana-wacana pelonggaran. Perlu diingat pada 1 April 2020, Presiden sampaikan mengapa kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dipilih, bukan karantina wilayah karena alasan supaya ekonomi masyarakat bisa berjalan, juga dianggap PSBB ini paling sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Ternyata setelah PSBB berjalan di beberapa daerah, banyak kegiatan ekonomi masyarakat yang terganggu. Bahkan di daerah yang tidak diberlakukan PSBB pun ekonomi terganggu. Ini menunjukkan kebijakan PSBB yang ditempuh pemerintah masih sisakan 2 masalah besar. Pertama tidak mampu kendalikan penyebaran Covid-19 karena hingga hari ini data penambahan positif Covid-19 belum menunjukkan kurva landai. Kedua ternyata juga tidak mampu selamatkan ekonomi masyarakat sebagaimana alasan ini digunakan untuk tetapkan kebijakan PSBB. Saya kira ini menunjukkan pemerintah tidak tahu mana yang prioritas untuk ditangani, pinginnya semua bisa diatasi tetapi malah nggak dapat dua-duanya," urai Sukamta.

Lebih lanjut Anggota DPR RI asal Yogyakarta ini menilai wacana yang dikeluarkan pemerintah, baik soal relaksasi PSBB dan berdamai dengan virus corona tidak didasarkan kepada data-data yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Ia menduga pemerintah saat ini sedang kebingungan, karena setelah berjalan 2,5 bulan sejak kasus positif pertama diumumkan, Covid-19 telah menyebar merata ke seluruh provinsi dan hampir 400 kab/kota di Indonesia yang membuat skema penanganan menjadi lebih rumit karena kondisi sarpras dan SDM kesehatan di daerah tidak sama.

Sementara anggaran penanganan diskenariokan hanya untuk 3-6 bulan. Ini bisa dilihat dari skema bansos jaring pengaman seperti BLT Desa untuk durasi 3 bulan seperti info Menko PMK dialokasikan kepada 12,3 juta KK penerima manfaat, sebesar Rp600.000 per bulan mulai dari April sampai Juni 2020.

"Dengan adanya wacana berupa skenario di bulan Juni atau Juli aktivitas masyarakat baik pendidikan dan ekonomi sudah mulai kembali normal, seakan pemerintah sudah lepas tanggung jawab untuk berikan bansos jaring pengaman sosial untuk masyarakat yang terdampak. Jangan-jangan anggaran pemerintah untuk jaring pengaman sosial memang sudah habis hingga bulan Juni, sehingga wacana pelonggaran sering dimunculkan. Kan kacau jika ini yang sesungguhnya terjadi," tambahnya.

Menunut Sukamta jika pemerintah mau serius jalankan skenario "new normal",  ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi. Pertama, harus dipastikan kurva perkembangan Covid-19 landai secara stabil sebagai hasil tes swab yang dilakukan secara optimal dan penanganan secara kesehatan secara maksimal.

Kedua, dipastikan seluruh masyarakat mengetahui protokol kesehatan yang harus dijalankan dengan senantiasa menjaga jarak, mengenakan masker dan rajin mencuci tangan. Ketiga, dipastikan jumlah rumah sakit dengan sarpras ruang isolasinya berjumlah cukup untuk antisipasi lonjakan pasien yang mungkin terjadi jika dilakukan pelonggaran. Keempat, pemerintah memastikan ketercukupan jumlah APD untuk tenaga medis dan masker untuk kebutuhan masyarakat.

"Pertanyaannya, apakah sudah terpenuhi kesemua syarat tersebut, jika belum sangat riskan kebijakan pelonggaran dilakukan. Pemerintah semestinya merujuk sepenuhnya kepada pendapat para ahli di bidang kesehatan dan epidemiologi dalam membuat kebijakan yang terkait penanganan Covid-19, bukan para pembisik yang punya kepentingan ekonomi sesaat," pungkasbya. (Jak)