Studi: Obat Malaria untuk Pasien COVID-19 Tidak Efektif

Mus • Friday, 15 May 2020 - 15:19 WIB
Hydroxychloroquine. (Reuters/Lindsey Wasson)

London, Inggris – Pasien COVID-19 yang diberikan obat malaria yang dipuji oleh Presiden AS Donald Trump ternyata tidak mengalami perbaikan kondisi secara signifikan, demikian menurut dua penelitian baru yang diterbitkan dalam jurnal medis BMJ pada Kamis (14/5).

Dilansir Channel News Asia, Jumat (15/5), dalam uji coba terkontrol secara acak terhadap 150 pasien COVID-19 dengan gejala ringan hingga sedang di Cina, para peneliti menemukan bahwa pasien yang diberikan hydroxychloroquine tidak pulih lebih cepat dibandingkan pasien yang tidak diobati dengan obat tersebut. Efek samping yang ditimbulkan juga lebih tinggi pada pasien yang menerima obat malaria itu.

Sebuah studi observasi terhadap pasien di Prancis menemukan bahwa obat tersebut tidak secara signifikan mengurangi jumlah perawatan ICU atau kematian di rumah sakit pada pasien COVID-19 dengan gejala pneumonia yang membutuhkan oksigen.

Permintaan atas hydroxychloroquine melonjak setelah Trump menggembar-gemborkannya pada awal April lalu, dan regulator AS sejak itu telah mengizinkan penggunaan daruratnya untuk pasien virus corona.

Namun obat ini belum terbukti efektif melawan COVID-19. Di samping itu, Badan Pengatur Makanan dan Obat-Obatan AS (FDA) telah memperingatkan penggunaan hydroxychloroquine pada pasien COVID-19 di luar uji coba rumah sakit atau klinik, sebab ada risiko menimbulkan detak jantung yang serius.

Obat ini masih dipelajari secara luas di Amerika Serikat dan negara-negara lain sebagai pengobatan COVID-19 yang potensial.

The National Institutes of Health (NIH), Kamis (14/5), mengatakan pihaknya memulai penelitian untuk mengevaluasi kombinasi antara antibiotik azithromycin dengan hydroxychloroquine, yang digambarkan Trump sebagai “penentu” potensial untuk pandemi.

Studi tahap-menengah, di mana Teva Pharmaceutical Industries Ltd akan menyumbangkan obat-obatan, akan menguji apakah kombinasi tersebut dapat mencegah pasien menjalani rawat inap dan mengalami kematian akibat COVID-19.

The National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), bagian dari NIH, mensponsori uji coba itu, yang saat ini tengah dilakukan oleh Kelompok Percobaan Klinis AIDS (ACTG) yang didanai oleh NIAID.

“Meskipun ada bukti anekdotal bahwa hydroxychloroquine dan azithromycin dapat memberi manfaat pada penderita COVID-19, kami membutuhkan data yang solid dari uji klinis yang luas untuk menentukan apakah perawatan eksperimental ini aman dan dapat meningkatkan hasil klinis,” kata Direktur NIAID Anthony Fauci pada Kamis (14/5).

Studi terbaru NIH akan melibatkan sekitar dua ribu orang dewasa di klinik-klinik di seluruh negeri, banyak di antaranya yang diperkirakan berusia 60 tahun ke atas atau memiliki kondisi bawaan lain atau penyakit kronis yang terkait dengan komplikasi serius COVID-19, seperti penyakit kardiovaskular atau diabetes. (lic)