Disharmoni Perda KTR Bogor dengan PP 109 Tahun 2012 Menimbulkan Ketidakpastian Usaha

• Thursday, 13 Feb 2020 - 17:49 WIB
Diskusi Opini Live Trijaya Mengenai Uji Materi Perda KTR Bogor dan Kepastian Investasi di Era Jokowi Mercure Jakarta Cikini. Kamis, 13 Februari 2020. Foto: (NAA)

Jakarta - Fokus pemerintah untuk mengatasi hambatan investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi layak didukung semua pihak. Sayangnya, cita-cita mulia itu mengalami hambatan di beberapa sektor. Saat ini, masih ada peraturan daerah yang tumpang tindih dan bertabrakan dengan peraturan nasional sehingga menimbulkan ketidakpastian berusaha. 

Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Bogor Nomor 10 Tahun 2018 misalnya, dinilai kalangan dunia usaha sebagai regulasi yang menghambat iklim usaha di kawasan itu. Perda KTR Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018 tentang perubahan atas Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang KTR menjadi salah satu regulasi yang dianggap tidak mendukung upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan ekonomi rakyat serta kepastian berusaha bagi para investor.

Pada pasal 16 ayat 2 Perda KTR Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018 disebutkan orang dan/atau lembaga   dan/atau badan yang menjual  rokok  di  tempat  umum  dilarang memperlihatkan  secara  jelas jenis dan produk  rokok. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang  Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih memperbolehkan pemajangan produk rokok di tingkat ritel. 

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menjelaskan kondisi ini memunculkan ketidakpastian usaha bagi masyarakat golongan kecil yang berprofesi sebagai pedagang, maupun usaha sedang dan menengah yang bergerak di penjualan ritel.

“Pertanyaannya simple, rokok itu barang legal atau tidak? Putusannya, rokok adalah barang yang legal dan boleh untuk diperjualbelikan. Dalam konteks itu, apa yang diatur di Bogor ini paradigma-nya adalah antirokok. Apakah benar (kebijakan) seperti itu? Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa rokok adalah barang legal,” jelas Endi pada diskusi Trijaya FM dengan tema “Uji Materi Perda KTR Bogor dan Kepastian Investasi di Era Jokowi” di Jakarta (13/2). 

Untuk itu, pemerintah harus bisa mengatasi kebuntuan dalam sinkronisasi antara peraturan dan perundang-undangan yang ada dengan peraturan daerah (perda). Ini karena kebijakan atau peraturan pemerintah daerah selama ini menghambat masuknya investasi, sehingga pertumbuhan ekonomi di daerah sulit meningkat secara signifikan.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan Perda merupakan bentuk kebijakan publik yang bentuknya regulasi sehingga harusnya mengacu pada peraturan di atasnya, yaitu PP 109/2012. 

“Perda KTR Bogor ini unik, yang ada saat ini No 10 tahun 2018, revisi dari Perda No 12 tahun 2009. Persoalan display sudah ada sejak dari dulu, jadi meski direvisi dan ada jalur nonlitigasi namun pemajangan rokok tetap dicantumkan. Ini tidak sejalan dengan aturan diatasnya,” kata Trubus. 

Ketidakselarasan antara peraturan di pemerintah pusat dan daerah menciptakan inefisiensi, disharmoniasi dan berpotensi mematikan usaha kecil. Ketidakselarasan peraturan, harus segera diperbaiki.  Seharusnya pemerintah daerah bisa menilai investasi yang baik dan berdampak positif dalam menciptakan lapangan kerja. Hal ini bertentangan dengan semangat Presiden Joko Widodo yang tengah menggodok omnibus law yang tujuannya termasuk menghilangkan hambatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. 

Adanya perda-perda penghambat di daerah tersebut, menyebabkan pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah tidak cukup signifikan untuk menciptakan lapangan kerja. Sebagian besar pemerintah daerah beranggapan fokus utama kebijakan adalah bagaimana menciptakan dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Ini tentunya agar bisa membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Namun, yang terjadi justru bertolak belakang.

Kebijakan yang dikeluarkan malah berpotensi menghambat penerimaan daerah. Karenanya, sudah selayaknya, lembaga hukum yang memiliki kewenangan memberikan keadilan bagi masyarakat sebagai obyek hukum dalam rangka kepastian berusaha. Dalam masalah Perda KTR Bogor Nomor 10 Tahun 2018, sudah seharusnya Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan kalangan pelaku usaha dalam rangka mendapatkan kepastian berusaha.

“Karena sekarang tiga jalur penyelesaian perda itu sudah tinggal satu, executive review sudah tidak mungkin karena Mendagri tidak bisa membatalkan perda, kemudian legislative review ke DPRD juga rasa-rasanya berat karena mana ada orang bikin perda kemudian cabut sendiri. Maka yang terakhir adalah judicial review, maka buat saya apa yang dilakukan pedagang kecil ini adalah langkah terhormat yang kita dukung. Ini adalah jalur tersisa yang disiapkan untuk menguji apakah keadilan terusik dan kepastian hukum terganggu. Tetapi semua orang berkomitmen menang kalah harus legowo, yang kalah harus ikuti aturan” tutup Endi