Polemik Trijaya FM : KPK, Komisioner Baru, UU Baru dan Gebrakan Baru

• Saturday, 11 Jan 2020 - 18:07 WIB

Jakarta - Tahun 2020 menjadi catatan penting bagi perjalanan pemberantasan korupsi di tanah air. Perubahan UU pemberantasan korupsi, adanya dewas KPK menjadi perhatian dan harapan besar masyarakat dalam penanganan kasus korupsi.

Pro dan kontra soal revisi UU dan pembentukan dewas juga sempat bermunculan. Namun masyarakat menyambut optimis dengan beberapa OTT KPK di awal tahun yakni terhadap  bupati Sidoarjo dan komisioner KPU.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya hanya berfokus pada tindak pidana korupsi (Tipikor) yang berimplikasi besar pada kehidupan masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam pasal 11 UU KPK.

Hal itu mengemuka dalam diskusi polemik MNC Trijaya FM hari ini, dengan tema "UU Baru, Komisioner Baru dan Gebrakan Baru" di Hotel Ibis Tamarin, Menteng, Jakarta, Sabtu (11/01/2019). Guru besar yang juga pakar hukum pidana UII, Prof Mudzakkir mengatakan KPK juga harus menuntaskan kasus-kasus besar yang merugikan negara.

Menurut guru besar UII, selama ini KPK masih sering menangani kasus-kasus yang tidak termasuk dalam kewenangannya, seperti yang diatur dalam UU KPK Pasal 11. Salah satunya menyebutkan bahwa KPK hanya mengurusi kasus yang merugikan negara paling sedikit Rp 1 miliar.

"Jika kurang dari Rp 1 miliar maka KPK melanggar wewenang," kata Mudzakkir.

Ia menambahkan, kewenangan KPK tersebut dimaknai bahwa KPK memang wewenangnya dibatasi oleh undang-undang, yakni pelakunya penegak hukum dan penyelenggara negara, meresahkan masyarakat dan nilai kerugian negara minimum Rp 1 miliar.

"Jika suatu perkara tipikor tidak memenuhi kualifikasi tersebut, KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tipikor tersebut," ujarnya.

Namun, lanjut Mudzakkir, jika KPK terlanjur menangkap pelaku tipikor dengan nilai kurang dari Rp 1 Miliar, maka KPK berkewajiban untuk menyerahkan kepada pihak kepolisian dan jaksa yang memang memiliki kewenangan untuk menangani kasus tersebut.

"KPK tidak memiliki wewenang menangani perkara tipikor yang tidak memenuhi kualifikasi pasal 11 UU KPK, maka wajib menyerahkan perkara tipikor tersebut kepada penyidik polisi atau penyidik jaksa untuk menangani perkara tipikor tersebut ke pengadilan," lanjutnya.

Ia mencatat beberapa kali KPK menangani kasus dengan jumlah tidak memenuhi kewenangan yang diatur dalam UU seperti, Korupsi DPRD kota Malang dengan nominal per anggota yang hanya Rp7,5 juta s/d Rp 15 Juta, OTT Dirut Krakatau Steel Rp 20 Juta dan OTT Ketum PPP Rp 50 Juta.

Mudzakir berharap ke depannya KPK bisa lebih masif lagi dalam melakukan pencegahan korupsi namun tetap menaati aturan hukum, yang sesuai dengan wewenang yang diatur oleh UU.

"KPK ke depan fokus pada perkara dengan nominal besar dan korupsi di lingkungan penegak hukum," harapnya.

Senada dengan Mudzakkir, praktisi hukum Ade Irfan Pulungan menilai KPK harusnya bermain dalam kasus yang besar bukan kasus-kasus yang kecil. Pasalnya, KPK merupakan garda terdepan dalam penanganan korupsi.

"KPK harusnya bermain di ranah besar-besaran, bukan hal-hal receh," kata Ade.

Menurut Ade, selama ini KPK sering mengungkap kasus-kasus yang cenderung dipilah-pilih. Kebanyakan, katanya, KPK menggaungkan kasus OTT terhadap figur-figur yang memiliki nama di masyarakat.

"Banyak kasus yang masuk ke KPK tapi yang di blow up hanya dipilih-pilih. Selama ini KPK cenderung hanya dijadikan drama saja, apalagi pelakunya seorang figur ternama negeri, dan itu digoreng-goreng sebagai sebuah keberhasilan," ujarnya.

KPK, lanjut Ade, harusnya lebih fokus pada pencegahan korupsi untuk menurunkan indeks korupsi tanah air dengan bergerak sesuai kewenangan yang diatur dalam UU.

"Harusnya KPK banyak melakukan pencegahan benar-benar untuk pelaku korupsi, sehingga mampu meminimalkan tindakan korupsi di tanah air," lanjutnya.

Ia berharap nantinya KPK memiliki target dalam menurunkan indeks korupsi Indonesia. Ia ingin KPK memiliki target, seperti ada target waktu yang dibuat bahwa KPK bisa menurunkan indeks korupsi dalam empat tahun atau lima tahun atau pun 10 tahun.

"Sehingga gerakan KPK bisa lebih terarah dengan ketentuan hukum yang diatur dalam UU," pungkasnya.

Selain Mudzakkir dan Ade Irawan hadir dalam acara Talkshow tersebut, Prof. Juanda (Guru Besar IPDN dan Pakar Hukum Tata Negara) dan Pakar Hukum UAI, Suparji Ahmad. (Jak)