BUMN Watch: Ada Temuan Baru Yang Bisa Kurangi Subsidi Solar

• Friday, 29 Nov 2019 - 07:42 WIB

JAKARTA - Kordinator BUMN Watch Naldy Nazar N Haroen mengktirisi sikap Direktur Utama (Ditur) PT. Pertamina (persero) Nicke Widyawati yang meminta tambahan kuota solar subsidi menjadi 17 juta kiloliter (KL) pada tahun 2020 mendatang.

Menurut Naldy Haroen, permintaan PT Pertamina untuk meminta tambahan kuota solar subsidi menjadi 17 juta Kilo Liter (KL) harus dilihat dari dua sisi.

Disatu sisi, kalau hanya kemudian meminta tambahan anggaran subsidi ke pemerintah, kita tidak perlu ada Direksi yang pinter dan dibayar mahal. 

"Justru sebaliknya ini harus menjadi tantangan bagi Direksi PT Pertamina untuk mengatasi masalah ini," ujar Naldy Haroen kepada wartawan Kamis (28/11/2019).

Dijelaskan Naldy, untuk mengurangi subsidi adalah melalui teknologi dan inovasi yang bisa melakukan  penghematan atau pengurangan subsidi. Sisi teknologi dan inovasi inilah yang menjadi concern utama Presiden Jokowi. 

"Bahkan untuk efisiensi atau pengurangan loss disisi distribusi atau supply chain dapat menggunakan teknologi IOT (Internet of Things) yang banyak dikuasai oleh anak bangsa," jelasnya.

Naldy meminta Dirut Pertamina tidak hanya merengek kepada negara untuk meminta penambahan anggaran untuk melakukan subsidi.

"Dirut Pertamina jangan hanya pandai merengek meminta tambahan anggaran subsidi. Tetapi harus mampu untuk tidak melakukan business as usual dengan melakukan inovasi baru," tegasnya.

Naldy mengungkapkan, setiap barang yang bersubsidi dari pemerintah selama ini menjadi bahan yang diperebutkan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadinya.

"Barang bersubsidi banyak yang tidak tepat sasaran. Sehingga, hal ini akan merugikan pemerintah," jelasnya.

Dikatkan Naldy, Presiden Jokowi selalu menekankan ada inovasi dan berpikir out of the box. 

Saat ini lanjut Naldy Haroen, ada salah satu penemuan technolgy seorang anak bangsa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan Jepang. Anak bangsa itu telah menemukan suatu technology yang di sebut Mix Fuel alatnya namanya AHFP (Aqua Hybrid Fuel Plant).

"Prinsipnya dengan technology dapat menduplikasi volume solar sampai 50 % jadi akan bisa mengurangi subsidi sampai 34 %," tutur Naldy.

Penemuan anak bangsa ini, kata Naldy, belum di respon positif oleh pihak Pertamina. Padahal dengan technology ini Pertamina tidak akan mengeluarkan investasi apapun. 

"Yang akan investasi adalah pihak yang memiliki mesin dan technology ini. Jadi Pertamina tidak perlu mengeluarkan uang," tegasnya.

Naldy Haroen berharap, Jokowi bisa menerima kedatangan penemu technology ini untuk melakukan pemaparan. 

"Pihak penemu technology ini mengharapkan dapat mempresentasikan ke Presiden Jokowi. Hal ini sesuai dengan misi dan visi presiden harus ada inovasi baru dan tidak terpaku pada sistem lama yang sudah ada," pungkas Naldy Haroen.

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya meminta tambahan kuota solar subsidi menjadi 17 juta kiloliter (KL).

Sementara, menurut Nicke dalam APBN 2020 sudah diketok kuota yang diberikan adalah 15,3 juta KL. Untuk itu pihaknya meminta masukkan dari DPR.

"Kita perkirakan nanti tahun depan prognosanya mencapai 17 juta. Dan ini barangkali kami akan meminta DPR sebagai bahan masukan untuk target tahun depan, mengingat di APBN masih 15,3 juta KL," kata dia dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (28/11/2019).

Nicke menjelaskan bahwa tren penyaluran solar subsidi oleh Pertamina terus mengalami peningkatan. Oleh karenanya pihaknya mengusulkan tambahan untuk 2020.

"Solar bersubsidi yang ditugaskan ke Pertamina mengalami peningkatan, jika kita lihat angka realisasi 2017 itu 14 juta KL, di 2018 meningkat 7,2% jadi 15,36 juta, dan prognosa di tahun ini jadi 16 juta KL," jelasnya.

Untuk tahun ini, Nicke menjelaskan adanya akses tol Trans Jawa dan Trans Sumatera membuat permintaan solar meningkat. Sementara kuotanya hanya 14,5 juta kiloliter (KL) di 2019.

"Dengan dibukanya jalur tol baik di Jawa maupun di Sumatera ini yang kemudian juga membuat demand meningkat," ujarnya.

Faktor lainnya karena adanya peningkatan permintaan di daerah-daerah industri, baik pertambangan maupun perkebunan.

"Meningkatnya demand di beberapa daerah khususnya daerah di mana industri pertambangan alami peningkatan, demikian juga industri perkebunan dan beberapa industri lainnya sehingga demand meningkat," tambahnya. (ANP)