Don't Breathe 2, Kekerasan Menegangkan Tanpa Beban Pesan Moral

MUS • Wednesday, 13 Oct 2021 - 13:23 WIB

Genre: Thriller, Horor
Sutradara: Rodo Sayagues (Don't Breathe)
Pemeran: Stephen Lang, Brendan Sexton III, Madelyn Grace
Durasi: 1 jam 30 menit
Distributor: Sony Pictures Indonesia
Mulai tayang di bioskop Indonesia: 15 Oktober 2021

Tak ada tempat paling tepat menonton thriller, selain di bioskop. Yang pasti, suasananya mendukung, detail audio visualnya pun tak tergantikan di layar terbatas di rumah. Sebagai pemanasan Halloween, "Don't Breathe 2" bisa menjadi salah satu pilihan. 

Suasana tegang dibangun, mulai dari derit hunian kayu, semilir angin maupun semacam bisikan entah dari mana, ayunan kamera ke ruang-ruang gelap, sampai musik khas dan latar bangunan tua minim pencahayaan. Tanpa makhluk gaib, penggemar horor disajikan aksi pertarungan tangan kosong dengan peralatan seadanya. Hasilnya, kengerian demi kengerian, sehingga penonton pun terasa memang sulit bernafas seperti judulnya.

"Don't Breathe 2" menghadirkan jalan kisah relatif baru, sehingga penonton yang baru pertama nonton pun, tidak masalah untuk mengikutinya. Tokoh utama "Don't Breathe" (2016) Norman Nordstrom kembali sebagai warga senior, penyandang disabilitas netra, yang harus mempertahankan rumahnya. Norman kini tinggal bersama anak berusia 11 tahun, Phoenix di pinggiran Detroit. Dia memilih untuk menyendiri, sebagai veteran dengan segala pengalamannya. 

Pemeran utama Stephen Lang mengatakan, luka perang menyebabkan disabilitasnya, bersama dengan trauma lain masa lalu, telah meninggalkan kerusakan, yang berdampak jauh, melampaui penglihatannya.

"Kerusakan spiritual, emosional, dan mental - itulah dia. Dia sudah hidup di luar peradaban, untuk waktu yang sangat lama. Dia tidak berguna bagi dunia pada umumnya – dunia tidak memperlakukannya dengan baik. Seperti anjing yang terlempar – jika Anda mencoba mengelusnya, dia akan menggigit tangan Anda,” jelas Lang dalam pernyataan resmi.

Diyakinkan oleh satu-satunya orang lain yang dikenal, Phoenix yang sangat tertekan oleh didikan Norman, sempat diperbolehkan pergi ke pusat kota. Namun teror pun dimulai di sana. Kekuatiran Norman menjadi kenyataan.

Phoenix diburu oleh ketua gank bernama Raylan. Norman pun harus melawan agar Phoenix tetap di sisinya. Meski tidak melihat, Norman mampu mengimbangi aksi kekerasan yang dilancarkan lawan-lawannya. 

Masalahnya, kenapa Norman begitu mati-matian melawan? Sebaliknya, ada apa dengan Raylan yang juga berupaya keras merebut Phoenix?

Menyusup tanpa alasan jelas pada awalnya, aksi Raylan ternyata menyimpan misi tersembunyi. Sejumlah plot twist dimunculkan satu per satu, yang tak terbayang sejak awal. Relasi Norman dan Phoenix, serta Raylan dengan latar belakangnya, justru 'mengonfirmasi' kengerian, tanpa pesan moral menggurui.

Karakter utama Norman tetap dijadikan sebagai sosok sentral sejak "Don't Breathe" pertama. Saat itu, Norman juga melawan para penyusup tanpa melihat, tanpa senjata canggih. Sutradara Alvaro Sayagues menyadari, ada yang belum pernah dilakukan, yaitu menempatkan penjahat ke posisi penting, dan diceritakan secara seimbang.

"Kami tidak akan pernah bisa menjadikannya pahlawan. Norman tidak heroik – tetapi kami dapat menceritakan sebuah kisah dari sudut pandangnya… Kami pikir itu sangat menyenangkan – mari kita jelajahi lebih lanjut kehidupan dan karakter orang ini, dan mari kita ceritakan kisahnya tentang apa yang terjadi padanya, setelah film pertama," ajak Sayagues.

Pada akhirnya, penonton kembali harus memutuskan sendiri, bagaimana perasaan mereka tentang Norman dan apa yang telah dia lakukan. Itulah yang dimaksudkan oleh para sineas di balik "Don't Breathe 2". 

“Anda tahu siapa yang akan menang, siapa yang pantas menang, siapa yang pantas mati. Tetapi dunia Don't Breathe adalah nuansa abu-abu dan beberapa hal hitam yang sangat gelap. Kami berusaha sangat keras untuk menceritakan kisah baru, dan orisinal yang belum pernah Anda lihat jutaan kali. Kami menceritakan kisahnya dengan adil, dan di mana Anda menempatkan karakter, terserah Anda,” tutup salah satu penulis naskah, Fede Alvarez. (MAR)