ELSAM: Pernyataan Saiful Mahdi Ekspresi yang Sah, tak Layak Dipidana

MUS • Monday, 6 Sep 2021 - 18:04 WIB

Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan oleh Saiful Mahdi, dosen FMIPA Universitas Syiah Kuala, Aceh, yang dipidana dengan Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Saiful dipidana tiga bulan penjara, terkait dengan kritik yang dilontarkannya terhadap proses rekrutmen Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kampusnya, yang disampaikan melalui grup whatsapp “UnsyiahKITA”. 

Padahal materi kritik yang disampaikan Saiful jelas merupakan bagian dari ekspresi yang sah (legitimate expression), yang dilindungi konstitusi. Atas vonis tersebut, saat ini Saiful Mahdi tengah mengupayakan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo. Oleh karenanya, sikap Presiden Joko Widodo terhadap permohonan amnesti ini akan memperlihatkan komitmennya pada perlindungan kebebasan berekspresi dan berpendapat, sebagaimana pernah diutarakannya sebelumnya pada saat menyampaikan pentingnya revisi kembali UU ITE.

Pengaturan dan implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE memang selalu menuai polemik, kendati pemerintah telah melahirkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman implementasi sejumlah pasal dalam UU ini. Merespons banyaknya persoalan akibat penerapan pasal pencemaran nama baik sebagai pembatas dalam pelaksanaan kebebasan berekspresi, Komite HAM PBB berkali-kali menekankan agar hukum pencemaran nama baik dibuat dengan sangat hati-hati. 

Hal itu untuk memastikan bahwa hukum ini tidak menghambat kebebasan berekspresi. Komite juga secara tegas mengatakan, bahwa “hukum pencemaran nama baik tidak dapat dikenakan terhadap suatu ekspresi yang menurut sifatnya merupakan aplikasi dari kebebasan berpendapat. Harus ditegaskan pula di dalamnya, ada ruang yang lebih luas bagi kritik terhadap pejabat negara, dalam setiap peristiwa, selain itu kepentingan publik dapat diakui sebagai pembelaan”. 

Sejalan dengan penegasan itu, Pengadilan HAM Eropa pada tahun 2010, juga menyatakan, bahwa hukuman atas tindak pidana pencemaran nama baik terhadap seseorang yang mengkritik seseorang yang menyandang mandat publik, adalah tidak proporsional dengan tujuan yang sah untuk melindungi reputasi dan hak-hak orang lain.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) memandang bahwa proses hukum terhadap Saiful Mahdi, termasuk penjatuhan pidana penjara tiga bulan, merupakan suatu tindakan yang tidak proporsional, dan merupakan bentuk represi kebebasan berekspresi, melalui tindakan kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah. Hukuman penjara untuk pencemaran nama baik adalah tidak diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis, dan bertentangan dengan jaminan perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi. 

Hal ini sejalan dengan Komentar Umum No. 34 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menegaskan bahwa suatu UU yang mengatur tentang pembatasan kebebasan berekspresi tidak boleh melanggar ketentuan non-diskriminatif dari Kovenan (ICCPR), dan yang paling penting adalah UU tersebut tidak memberikan hukuman-hukuman yang tidak sesuai dengan Kovenan salah satunya adalah hukuman fisik.

Dikemukakan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi (2011), pemberian hukuman penjara bagi orang yang mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan sulit dibenarkan sebagai tindakan yang sesuai untuk mencapai salah tujuan yang sah menurut Pasal 19 ayat (3) ICCPR. Menyitir pendapat tersebut, menurut ELSAM penjatuhan pidana penjara terhadap ekspresi dari Saiful Mahdi hanya akan menciptakan efek jeri (chilling effect) atau dampak ketakutan yang besar terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Oleh karena itu,
 
ELSAM meminta sekaligus mendukung Presiden Joko Widodo untuk memberikan Amnesti kepada Saiful Mahdi, sebagai bentuk kehadiran negara untuk melindungi pelaksanaan kebebasan berekspresi dan berpendapat, sebagai elemen esensial bagi keikutsertaan warga dalam kehidupan politik dan juga mendorong gagasan kritis dan perdebatan tentang kehidupan politik. Kebebasan ini merupakan pra- syarat bagi perwujudan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya sangat penting bagi pemajuan dan perlindungan HAM secara keseluruhan, sekaligus memastikan berjalannya suatu pemerintahan yang demokratis.

Lebih jauh, dalam kasus Saiful Mahdi, pertimbangan hukum sebagaimana tercermin dalam putusan pengadilan tingkat pertama hingga tingkat kasasi, gagal membedakan antara kritik dengan pencemaran nama baik sebagai spesies dari genus tindak pidana penghinaan. Tujuan utama hadirnya hukum pencemaran nama baik pada dasarnya adalah untuk menjaga dan melindungi reputasi sebagai bagian dari privasi seseorang. Kendati begitu, jika diterapkan dengan tidak hati-hati, justru akan menghambat penikmatan kebebasan berekspresi dan berpendapat (antinomi). Oleh sebab itu, hukum pencemaran nama baik harus dibatasi secara ketat, dengan memastikan terpenuhinya elemen-elemen berikut ini: 

(1) pernyataan yang diungkapkan merupakan suatu kebohongan (palsu); 
(2) bersifat faktual;
(3) menimbulkan kerusakan; 
(4) mengganggu reputasi orang (bukan institusi/lembaga); dan 
(5) dipublikasikan kepada pihak ketiga. Oleh karenanya, suatu hukum pencemaran nama baik harus dikatakan inkonstitusional jika dimaksudkan untuk melindungi perasaan pribadi atau bahkan untuk melindungi ketertiban umum, gagal menyediakan pertahanan-pembelaan yang memadai, dan jika diterapkan dengan kerusakan yang tidak proporsional dengan tindakannya.

Dalam kasus Saiful Mahdi nampak kegagalan peradilan di dalam menerapkan unsur-unsur pidana pencemaran nama sebagaimana dijelaskan di atas, sehingga gagal membedakan antara kritik sebagai suatu ekspresi yang dilindungi, dengan tindakan pencemaran nama baik. 

Pengadilan juga gagal memberikan perlindungan terhadap ekspresi yang sah dari Saiful, dan pertimbangan hukumnya cenderung dipaksakan untuk memenuhi unsur-unsur pencemaran nama baik, yang sejatinya dimaksudkan untuk melindungi reputasi individu bukan institusi. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ELSAM sekali lagi menekankan kepada Presiden untuk mengabulkan permohonan amnesti Saiful Mahdi sebagai bentuk komitmen Presiden menjamin perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagai elemen esensial dari demokrasi;

Pemerintah dan DPR diminta lebih serius melanjutkan proses revisi terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik, termasuk materi Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (2), yang rumusannya cenderung karet dan multi-tafsir;

Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya perlu menyediakan panduan penanganan perkara berdimensi kebebasan berekspresi dan berpendapat dengan medium teknologi informasi dan komunikasi. Juga menyediakan bimbingan teknis bagi para hakimnya, khususnya dalam mengadili kasus-kasus yang berdimensi kebebasan berekspresi dan berpendapat, baik yang melalui medium daring (online) maupun luring (offline).