FIT sebagai Langkah Awal, Skema Lelang Jadi Kunci

• Saturday, 29 Feb 2020 - 16:30 WIB
Elrika Hamdi (Pojok Kiri), Kirana D. S (kedua dari kiri), Eddie Widiono Soewondho (Ketiga dari kiri) di Jakarta, Jumat (28/02/2020). (Foto: Maw)

JAKARTA - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) meluncurkan laporan terbaru yang menganalisis perkembangan kebijakan energi terbarukan (ET) di Indonesia. Laporan IEEFA mengungkapkan, skema feed-in tariff (FIT) memang dapat digunakan dalam memulai sejumlah investasi pengembangan energi terbarukan. Namun, kebijakan yang berpihak pada pasar seperti skema lelang yang transparan dan kompetitif adalah kunci masa depan pertumbuhan ET di Indonesia.

Peneliti dan penulis laporan IEEFA, Elrika Hamdi mengatakan, belajar dari negara-negara berkembang lainnya, hasil terbaik di tingkat sistem kelistrikan dapat tercapai jika lelang tersebut dirancang dengan cermat dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sistem.

Peneliti dan penulis laporan IEEFA, Elrika Hamdi  (Foto : Maw)

“Langkah menuju FIT merupakan awal yang bagus dan sangat dihargai, namun transisi yang cepat menuju reverse auction yang kompetitif dan transparan adalah pendekatan terbaik untuk mempercepat penyerapan dan investasi ET skala besar di Indonesia,” kata Elrika dalam media briefing di Jakarta, Jumat (28/2/2020).

Pemerintah sedang merancang peraturan presiden (perpres) terkait tarif pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan (ET).  Ketentuan yang akan diatur dalam perpres ini adalah penggunaan skema FIT, berbeda dibanding aturan yang berlaku saat ini yaitu menghitung harga pembangkit listrik ET berdasarkan biaya pokok produksi (BPP), yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50/2017.

Laporan IEEFA menggarisbawahi sejumlah pondasi yang dibutuhkan untuk membangun desain sistem ET yang kuat. Pondasi tersebut di antaranya, harga pasar lebih baik dibandingkan dengan harga yang ditetapkan melalui kebijakan politis. Hasil studi menunjukkan, Jerman dan Vietnam yang sebelumnya mengimplementasikan instrumen FIT untuk ET, sekarang ini ini lebih memilih untuk melakukan lelang terbalik atau reverse auction untuk mendapatkan tarif listrik yang lebih murah.

“Ada risiko politik yang harus ditanggung bagi pembuat kebijakan yang menentukan harga melalui FIT. Bila terlalu mahal, maka beban subsidi listrik meningkat. Negara-negara yang berhasil mengimplementasikan FIT, seperti Jerman dan Vietnam, harus menanggung harga listrik yang mahal,” Elrika menjelaskan.

Pondasi lain terkait lelang yaitu perlunya mendorong proses yang transparan dan kompetitif untuk mengurangi risiko. Banyak negara berkembang di seluruh dunia berhasil melakukan lelang yang bukan hanya menghasilkan penambahan kapasitas pembangkit ET secara cepat, tetapi juga mendapatkan harga terendah.

Elrika menekankan, desain lelang harus memperhatikan kondisi negara setempat. “Setiap negara punya cara berbeda untuk men-de-risk lelang, tergantung kemampuan negara tersebut menyerap risiko. Apapun cara yang dipilih, biasanya pasarlah yang menentukan hasil melalui harga penawaran,” ujarnya.

Yang juga penting dalam keberhasilan penyerapan ET dalam sistem kelistrikan Indonesia adalah komitmen off-take dari PLN dan proses perizinan yang tidak berbelit-belit. Untuk itu, pentingnya investasi sistem jaringan tidak boleh dianggap remeh. Jaringan yang kuat dan cerdas adalah penentu besaran penetrasi ET yang dapat diserap oleh sistem.

Dalam hal penetapan harga listrik ET di negara-negara berkembang, seluruh biaya cost of capital merupakan penentu utama. Karena itu, kata Elrika, dari pada fokus pada penyediaan subsidi untuk menutupi biaya tambahan yang muncul dari skema FIT, lebih baik bagi pemerintah untuk mencari cara agar dapat mengurangi cost of capital, di antaranya bisa dengan cara menurunkan suku bunga bank bagi proyek-proyek ET.

Praktisi hukum ketenagalistrikan dari firm hukum UMBRA-Strategic Legal Solutions, Kirana D. Sastrawijaya mengomentari bahwa di Indonesia, FIT bukan konsep baru. Pemerintah Indonesia telah beberapa kali mengeluarkan peraturan terkait FIT yang cenderung berubah-ubah–mengindikasikan tantangan yang sama juga dihadapi Indonesia untuk menemukan harga yang tepat untuk FIT.

Praktisi hukum ketenagalistrikan dari firm hukum UMBRA-Strategic Legal Solutions, Kirana D. Sastrawijaya (Foto:Maw)

Menurut Kirana, Indonesia memulai pengadaan ET dengan konsep penunjukan langsung (sebagaimana hal tersebut dimungkinkan dalam PP Ketenagalistrikan). Model pengadaan ini berubah tahun 2017 dengan keluarnya Permen ESDM 12/2017 menjadi mekanisme pemilihan langsung.

"Hasil kajian IEEFA menarik, membandingkan dengan negara lain yang sebelumnya menerapkan FIT kemudian kembali ke sistem lelang, seperti di Jerman dan Vietnam. Pemerintah baiknya juga dapat mempertimbangkan model lelang vs penunjukan langsung dan isu harga ET hasil lelang vs harga FIT," kata Kirana.

Terkait risiko, lanjut Kirana, risiko pada dasarnya mencerminkan tarif. Semakin banyak risiko yang dialokasikan ke pengembang, maka tarif yang diajukan dalam suatu lelang akan semakin tinggi. "Oleh karenanya, mekanisme lelang di mana ketentuan-ketentuan PPA diberikan secara jelas sejak awal lelang, dan menjadi dasar dan patokan peserta lelang untuk memasukan harga, akan lebih dekat untuk dapat digunakan sebagai ukuran alokasi risiko yang adil, karena alokasi risiko tersebut seharusnya akan tercermin dari hasil harga lelang," ujar Kirana.

Pakar ketenagalistrikan Eddie Widiono Soewondho mengatakan, dirinya sependapat dengan Elrika bahwa harga pasar lebih baik dibanding dengan harga yang ditetapkan melalui kebijakan politis. Dengan catatan, kata Eddie, selama profil risikonya tidak banyak mengalami perubahan.

Pakar ketenagalistrikan, Eddie Widiono Soewondho. (Foto : Maw)

“Ada hubungan antara besaran tarif dan risiko. Harga pasar itu lebih baik dibanding kebijakan, bisa saja, saya setujul. Asalkan, sepanjang profil risikonya tidak berubah drastis, ini kaitannya dengan seringnya terjadi perubahan kebijakan dan peraturan, apalagi bila sampai terjadi disrupsi,” ujar Eddie dalam media briefing di Jakarta, Jumat (28/2/2020).

Untuk itu, lanjut Eddie, PLN harus melakukan transformasi karena badan usaha listri milik negara tersebut memiliki peran dalam memfasilitasi investasi untuk pindah dari energi fosil ke energi hijau. Menurutnya, tidak ada entitas lain yang seideal PLN dalam menjembatani transisi menuju ekonomi hijau yang terkait dengan jangkauan kawasan layanan yang dimiliki PLN maupun jumlah dan sebaran pelanggannya.

“Dalam hal ini, butuh inovasi dan keberanian dalam mengambil keputusan. Saat ini, dua hal tersebut masih minim. Memang, transisi energi itu adalah keputusan pemerintah, tapi transisi teknologi yang dibutuhkan untuk mendukung keputusan itu kemampuannya ada di PLN,” kata Eddie.